Pondasi Kekristenan

Di antara kita banyak yang mengetahui bahwa asal-muasal Kekristenan tidak ada kaitannya dengan “Malam Kudus” atau orang-orang Majus. Kalau begitu, apakah asal-muasal sejatinya? John Pickard mengkaji realitas perihal timbulnya agama ini – dari posisi kekuatan-kekuatan klas dan perkembangan-perkembangan material masyarakat, dan bukan dari alih-alih fiksi-fiksi yang saleh yang dijejalkan dari mimbar-mibar gereja.

Mendiang ayah saya memiliki rasa humor yang sangat garing. Saat Natal, kapanpun televisi menayangkan informasi tentang kebaktian gerejawi, ia nampak jengkel dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lihat itu,” katanya, “Mereka coba membawa agama ke dalam segala hal!”

Saya membayangkan, boleh jadi keluhan yang sama akan diungkapkan oleh orang-orang Celt di zaman purbakala, yang terusik karena para imam Kristiani mengambilalih festival tradisional mereka, yakni Yule, yang diadakan untuk merayakan winter solstice (tampilnya matahari pada titik tertinggi di angkasa pada musim dingin). Atau barangkali para warganegara Romawi, yang merasa terganggu karena orang-orang Kristen mengambilalih festival tahunan mereka, yakni Saturnalia, pada pekan-pekan terakhir di bulan Desember.

Mereka yang mengeluh boleh jadi benar. Sebab, sementara orang-orang Kristen tidak dapat menemukan tanggal dalam Kitab-kitab Injil kanonik, mereka mencangkokkan perayaan akan kelahiran Yesus ke dalam festival-festival pagan yang ada pada saat itu. Dengan satu pukulan, mereka menyerap ritus-ritus pagan ke dalam tradisi Kristen sekaligus melunakkan penentangan terhadap keyakinan yang baru ini.

Sekarang ini banyak penghayat Kekristenan yang sama-sekali tidak menyadari asal-muasal pagan dan unsur-unsur penting dalam kepercayaan dan praktik-praktik religius mereka yang tampak acak.

Banyak orang Kristen yang dengan serius mempercayai bahwa Kekristenan berasal-muasal dalam “Malam Kudus”, di sebuah kandang ternak yang dikunjungi para gembala yang takzim dan beberapa orang “bijak-bestari” yang dilanda rasa takjub. Tapi tiada yang bisa lebih jauh dari kebenaran.

Materialisme

Bagi kaum Marxis, yang mendasarkan diri pada dunia yang riil atau dunia material, ada sebuah realitas yang sama sekali berbeda. Tahun yang silam (2008) menandai seratus tahun penerbitan The Foundations of Christianity, karya teoretikus Marxis Jerman, Karl Kautsky. Karya ini merupakan upaya pertama untuk menggambarkan kemunculan agama utama Barat itu dari posisi kekuatan-kekuatan klas dan perkembangan-perkembangan material masyarakat, dan bukan dari alih-alih fiksi-fiksi saleh yang dijejalkan dari mimbar-mimbar gereja.

Dalam banyak hal, buku Karl Kautsky ini tidak sempurna. Tapi garis-garis pokok dari argumennya masih tahan uji sampai sekarang. Apa yang secara khusus signifikan dari buku Kautsky adalah bahwa buku tersebut merupakan upaya komprehensif pertama untuk menggambarkan fondasi dan kemunculan Kekristenan dengan menggunakan metode materialisme-historis.

Karl Marx dan Frederick Engels telah menggunakan metode materialisme-historis dan menerapkannya pada perkembangan-perkembangan sosial dan historis. Dalam bukunya, Anti-Dühring, Engels meringkaskan apa yang dimaksud dengan materialisme-historis.

“Konsepsi materialis tentang sejarah bertitik-berangkat dari dalil bahwa produksi dan, setelah produksi, pertukaran hal-hal ihwal yang diproduksi, merupakan basis dari semua struktur sosial; bahwa dalam setiap masyarakat yang pernah muncul dalam sejarah, cara pendistribusian kekayaan dan pembelahan masyarakat ke dalam klas-klas atau estat-estat (kelompok-kelompok sosial - Penerjemah) bergantung pada apa yang diproduksi, bagaimana itu diproduksi, dan bagaimana produk-produk itu dipertukarkan. Dari titik-pandang inilah penyebab-penyebab yang final dari semua perubahan sosial dan revolusi politik harus dicari, bukan dalam otak manusia, bukan dalam wawasan manusia yang lebih baik dalam mengkaji kebenaran dan keadilan yang sejati, tetapi dalam cara-cara produksi dan pertukaran. Mereka harus dicari, bukan dalam filsafat, tapi dalam ilmu tata-ekonomi dari setiap epos tertentu.”

Karena itu, Karl Kautsky menolak mitos-mitos metafisik di balik Kekristenan – mukjizat-mukjizat, peristiwa-peristiwa gaib, dan sebagainya – dan berupaya untuk menggambarkan asal-muasal dan kemunculannya melalui kondisi-kondisi sosial yang ada dalam Kekaisaran Romawi.

Gambaran klasik tentang asal-muasal Kekristenan disajikan secara garis-besar dalam Perjanjian Baru. Kitab-kitab Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes dipandang sebagai penuturan historis tentang peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi dalam tiga puluh tahun pertama dari milenium pertama: bagaimana Yesus telah dilahirkan melalui mukjizat, bagaimana ia mengadakan mukjizat-mukjizat dan berkhotbah bersama dengan keduabelas pengikutnya, bagaimana ia telah disalibkan karena pewartaannya, dan bagaimana ia bangkit dari kematian. Kitab-kitab Injil dipandang sebagai penuturan saksi-mata dari empat orang pengikutnya.

Meskipun mengalami penyiksaan, penganiayaan, dan kemartiran yang tidak terhitung banyaknya, ide-ide unggul umat Kristen – khususnya tawaran kehidupan setelah kematian dan penebusan dosa manusia melalui penyaliban Yesus – mendatangkan dukungan bagi Kekristenan sampai agama itu menjadi sebuah kekuatan yang tidak terbendung dan akhirnya diakui oleh Kekaisaran Romawi, Konstantinus. Selebihnya, kata mereka, adalah sejarah.

Ini adalah sejarah “resmi” Gereja … dan sebagian terbesar daripadanya adalah dongeng. Bagi kaum Marxis, pertanyaan yang harus diajukan adalah: bagaimana kondisi-kondisi di Palestina pada abad pertama? Karl Kautsky menyinggung fakta bahwa Kekaisaran Romawi adalah sebuah sistem yang didasarkan pada perbudakan, yang di dalamnya mayoritas yang sangat luas dari penduduknya dimiskinkan dan hidup lapar nyaris seumur hidup mereka.

Dan benarlah bahwa Palestina itu merupakan sebuah masyarakat yang terbelah karena konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi klas. Karakteristik dari seluruh periode yang sarat dengan gejolak, pergolakan, dan pemberontakan. Menyelimuti perjuangan klas adalah satu faktor tambahan, yakni penindasan nasional atas penduduk yang mayoritasnya rumpun Semitik oleh orang-orang Romawi. Dalam masyarakat Yahudi, kasta imam dan bangsawan disokong oleh rezim Romawi untuk semakin mengeksploitasi massa penduduk.

“Konflik yang fundamental terjadi antara para penguasa Romawi, kaum Herodian, dan Imam Besar, di satu pihak, dan para penduduk pedesaan Yudea dan Galilea, yang hasil jerih payahnya memasok upeti untuk Kaisar, pajak-pajak untuk Raja Herodes, dan persembahan perpuluhan serta persembahan-persembahan kurban untuk para imam dan aparat kuil di lain pihak.” (Horsley, Bandits, Prophets and Messiahs ).

Para imam yang dibayar dengan perpuluhan (pajak umat) oleh kaum tani setempat bukanlah kelompok yang kecil. Beberapa sarjana memperhitungkan jumlah mereka: ribuan. Raja orang Yahudi, Herodes “Agung”, yang meninggal dunia pada tahun 4 SM, meninggalkan sebuah negeri yang secara ekonomik sudah kurus-kering pasca penaklukan Romawi, serta beban pajak yang mengikutinya.

“Para produsen agrikultur Yahudi sekarang hidup di bawah tuntutan pajak ganda, yang barangkali mencapai lebih dari 40 persen dari produksi mereka. Ada juga pajak-pajak Romawi lainnya, yang semakin memperberat beban rakyat, tetapi upeti-lah pemerasan yang utama.”

“Sesudah satu periode kemerdekaan nasional di bawah Dinasti Hasmonea (raja-raja Yahudi), dominasi Romawi dipandang tidak sah sama sekali. Upeti dilihat sebagai perampokan. Memang upeti dilihat sebagai perbudakan yang terang-terangan oleh guru-guru militan seperti Yudas dari Galiea, yang mengorganisir perlawanan aktif terhadap sensus (catatan tentang rakyat untuk keperluan pajak) manakala pihak Romawi mengambilalih pemerintahan langsung atas Yudea pada tahun 6.” (Bandits, Prophets and Messiahs)

Pemberontakan-Pemberontakan

Satu-satunya catatan yang ada mengenai sejarah ini berasal dari Josephus, seorang jenderal Yahudi yang bertempur melawan Romawi semasa pemberontakan tahun 66 dan yang kemudian menyeberang ke pihak lawan. Jelas dari laporan-laporan historisnya, seluruh periode tersebut adalah periode yang ditandai oleh gejolak yang sangat hebat. Ada banyak peristiwa di mana kaum tani melancarkan pemberontakan di bawah pimpinan raja-raja popular yang terpilih (atau “mesiah”). Semua pemberontakan itu ditindas dengan kejam. Bukanlah hal yang asing dimana kota-kota sama sekali diratakan dengan tanah dan penduduknya dijual sebagai budak.

Pemberontakan-pemberontakan itu mencerminkan kondisi-kondisi material dan konflik-konflik klas zaman itu, tetapi mereka terbungkus dalam tema-tema kebangkitan mesianik dan aspirasi religius. Terkait dengan tradisi dan kitab suci Yahudi, gerakan-gerakan itu secara tak terelakkan merasa telah mengenakan jubah pemimpin-pemimpin relijius, termasuk dan terutama sekali Yosua. Faktanya, ada banyak sekte “Yosua” pada waktu itu (“Yesus” adalah versi Yunani-Romawi dari nama “Yosua”, yang tidak dikenal di Palestina pada zaman itu). Banyak dari kultus-kultus tersebut mempunyai wawasan “komunis”, dengan barang-barang yang dimiliki dan dinikmati bersama dalam komunitas.

Tulisan-tulisan Josephus adalah satu-satunya karya asli yang tersisa yang ditulis oleh seorang partisipan dalam peristiwa-peristiwa itu. Ia menggambarkan apa yang dipandangnya sebagai pengaruh jahat dari para peramal dan nabi-nabi pada lebih dari satu kali kejadian, seperti: “… Para penipu dan tukang demagogi, dengan samaran inspirasi ilahi, memprovokasi aksi-aksi revolusioner, dan mendesak massa-rakyat untuk bertindak seperti orang gila. Mereka memimpin mereka ke padang gurun …” Josephus (Jewish Wars) menyebutkan nama beberapa peramal, “nabi-nabi”, dan para revolusioner yang menggerakkan orang-orang Yahudi. Tetapi “Yosua” yang digambarkan dalam Perjanjian Baru tidak muncul pada bagian manapun dalam karya besar seorang yang dianggap sezaman dengannya, Josephus.

Kekuatan yang cenderung revolusioner dalam periode ini adalah kaum tani, yang berupaya dari waktu ke waktu untuk membebaskan diri dari penindasan nasional dan klas.

Sekumpulan kecil komentar Josephus mengilustrasikan kekacauan besar dalam periode ini:

“Banyak [kaum tani Yahudi] menjadi bandit karena nekat, dan di seluruh negeri terjadi perampasan, dan di antara yang lebih berani, pemberontakan-pemberontakan… ”

“… seluruh Yudea dilanda perampok-perampok …” (Jewish Wars)

“Felix [gubernur Romawi, 52-58 ZB] menangkap [pemimpin revolusioner] Eleazar, yang selama 20 tahun telah menjarah negeri itu, seperti banyak rekannya, dan mengirimnya ke Roma untuk diadili. Jumlah perampok yang disalibkan … tak terbilang banyaknya.” (Josephus , Antiquities).

Tiada yang lebih jauh dari “Malam Kudus!” Gejolak revolusioner tumpah-ruah menjadi sebuah pemberontakan umum pada tahun 66, melawan Romawi dan para kolaborator mereka, yakni klas penguasa Yahudi, kaum Imam Besar. “… kebencian dan faksionalisme yang sengit menyala di antara kaum Imam Besar di satu pihak dan para imam biasa dan pemimpin-pemimpin massa-rakyat Yerusalem di sisi lain.” (Antiquities)

Pengepungan Yerusalem

Selama empat tahun berikutnya terjadi perang gerilya yang berdarah-darah dan berkepanjangan, yang diikuti oleh pengepungan yang lama terhadap Yerusalem. Semasa pengepungan itu massa-rakyat, yang khawatir akan pengkhianatan aristokrasi Yahudi dan kaum Imam Besar, secara efektif mengambilalih kekuasaan ke dalam tangan mereka sendiri di Yerusalem. Salah satu tindakan pertama mereka dalam revolusi adalah menyerbu Kuil-Kuil dan membakar akta-akta dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan utang-utang dan pajak-pajak kaum tani. Tak heran, aristokrasi dan kaum Imam Besar meninggalkan kota itu dan mencari selamat di perbentengan Romawi – termasuk Josephus sendiri.

Bahkan sebelum revolusi tersebut, Palestina telah menjadi pusaran kultus dan sekte religius. Hampir semuanya didasarkan secara longgar pada kitab suci Yahudi tradisional, tetapi sering diwarnai oleh ketidakpuasan yang meluas terhadap kolaborasi imamat dan parasitisme budaya Kuil. Di antara mereka tentulah ada “Yosua” dan sekte-sekte mesianik lainnya yang diorganisir oleh beragam pemimpin kharismatis.

Menyusul penindasan berdarah terhadap revolusi dan kejatuhan Yerusalem (yang semasanya Kuil dihancurkan) pada tahun 70, puluhan ribu orang Yahudi meninggalkan wilayah itu dan beribu-ribu orang lainnya diperbudak. Malapetaka yang sangat dahsyat tidak bisa tidak pasti mempengaruhi Diaspora Yahudi yang sangat besar, yang telah meninggalkan tanah air mereka dan tersebar di setiap kota utama di seluruh Kerajaan Romawi, termasuk kota-kota yang lebih besar seperti Roma, Aleksandria, dan kota-kota besar di Timur.

Lama sebelum peristiwa-peristiwa revolusioner itu, segala macam sekte telah mengakarkan diri dalam komunitas-komunitas Diaspora Yahudi, sejajar dengan mereka yang ada di Palestina. Di dalam lingkungan sektarian yang hidup itu ada suatu kultus kepada Yosua yang dikembangkan oleh Paulus, dengan kebijakannya mempertobatkan orang non-Yahudi dan Yahudi. Dalam praktik, sekte ini menjadi sumber-utama Kekristenan modern dengan, antara lain, menyederhanakan Taurat Yahudi untuk menghapus keharusan bersunat dan tabu-tabu makan-minum yang ketat.

Semua karya Kristen perdana yang beredar sejak pertengahan sampai akhir abad pertama – termasuk surat-surat Paulus – secara signifikan tidak memiliki naratif-historis tentang Yosua untuk dijadikan sebuah biografi yang riil. Baru belakangan saja Injil Markus (yang menjadi dasar bagi Injil Matius dan Injil Lukas) ditulis sebagai gambaran alegoris tentang suatu kehidupan, yang disusun agar sesuai dengan doktrin tentang Yosua yang sedang dikukuhkan. Ini mengekspresikan keyakinan dan kekuatan jumlah yang terus berkembang dari sekte ini. Tapi ini juga mengekspresikan pembelahan klas yang terus berkembang di dalam komunitas Kristen itu sendiri, ketika ia berakomodasi dengan masyarakat Romawi. Dari ide-ide sejati kultus Yosua yang bersifat komunistik, yang tersisa tinggal sisa-sisa dan jejak-jejaknya dalam Perjanjian Baru sekarang ini.

Karena berpolemik dengan eks sesama penganut, orang-orang Yahudi, dan sekian banyak sekte-sekte proto-Kristen, maka Gereja yang awal menggarap doktrinnya dalam dekade-dekade permulaan Abad Kedua.

Seiring dengan penggarapan doktrin itu, Gereja mendirikan sebuah aparatus untuk mempertahankan dirinya. Bukti tentang sekte-sekte Kristen Perdana yang beranekaragam baru akhir-akhir ini saja diketahui dengan jelas sebab apparatus ini, sekali telah mengukuhkan dirinya, berusaha sebaik-baiknya untuk menghapus sekte-sekte yang lain sebagai “ajaran sesat”, dalam proses yang menyingkirkan hampir seluruh bukti bahwa aliran kultus Yosua lainnya pernah ada.

Pertanyaan yang perlu diajukan: mengapa Kekristenan tumbuh-berkembang dalam dua abad selanjutnya. Kekristenan bukanlah sebuah gerakan anti-perbudakan: perbudakan merajarela di seluruh Kerajaan Romawi, dan orang-orang Kristen memiliki budak seperti orang yang lainnya. Ada bukti bahwa para uskup pun seperti orang-orang Romawi yang kaya-raya, memiliki budak di sepanjang periode tersebut.

Pertimbangan-pertimbangan teologis bersifat sekunder. Birokrasi yang kaku yang berusaha melanggengkan dirinya dan telah berkembang mencerminkan pembelahan-pembelahan klas dalam masyarakat dan menjadi sebuah benteng-pertahanan yang penting bagi sistem klas.

“Akhirnya, wacana-wacana dan kotbah-kotbah para pemimpin Kristen memasukkan bukan hanya aspek-aspek formal dari perhatian-perhatian status aristokatik, tapi juga nilai-nilai dan ideologi klas atas Romawi-akhir.” (Salzman, The Making of a Christian Aristocracy)

Pertobatan

Komentar ini mengacu pada periode yang mengikuti “pertobatan” Kaisar Konstantinus pada awal abad keempat. Tetapi lama sebelumnya Gereja sudah memainkan peran kunci sosial dan ekonomi untuk kepentingan klas penguasa. Banyak pejabat negara adalah para uskup atau pemimpin Kristen. Lebih penting lagi, mereka memainkan peran kunci dalam manajemen dan organisasi pemerintahan lokal.

Sejauh itu mempunyai arti tertentu dalam Kerajaan Romawi yang sedang mengalami kemerosotan yang membawanya kepada kematian, mereka adalah pemerintah lokal. Para uskup dan pejabat gerejawi mengumpulkan pajak, mendistribusikan sumbangan-sumbangan (bantuan-sukarela berbasis-gereja) dan menyelia perselisihan-perselisihan hukum dan sengketa-sengketa tanah lokal. Mereka adalah sebuah “jawatan masyarakat” tak resmi untuk kepentingan birokrasi Romawi jauh sebelum Kaisar Konstantinus memberikan legalitas kepada mereka. Gereja memenuhi fungsi sosial dan ekonomi, yakni dengan mengelola dan menanggulangi jumlah kaum miskin dan tak berpunya yang kian meningkat. Karena alasan itu, dan bukan karena terjadinya “kebangunan rohani” di kalangan klas penguasa, Gereja diizinkan untuk tumbuh dan berkembang.

Gereja sanggup memenuhi peran ini karena ia menawarkan katup pengaman bagi aspirasi massa-rakyat. Ia memberikan kepada kaum tani kesempatan satu-satunya untuk duduk di gedung yang sama dengan para tuan-tanah dan uskup (bila tidak di tempat duduk yang sama). Bahkan, bila ada pengharapan yang terbatas di dunia ini, setidaknya mereka ditawari janji kesetaraan dengan kaum kaya di dunia yang akan datang. Orang-orang Kristen menawarkan seorang mesias dan “kehidupan setelah kematian”, kontras dengan dewa-dewi Yunani dan Romawi yang dingin, jauh, dan acuh tak acuh.

Birokrasi Gereja dengan sadar mengembangkan kebijakan (dan teologi) menurut kepentingan-kepentingannya sendiri, dan semakin mengidentifikasikan diri dengan kepentingan-kepentingan klas penguasa. Tapi dalam struktur dan cara pandangnya ia juga mengantisipasi perkembangan masyarakat feodal secara lebih baik daripada negara pemilik-budak yang sedang membusuk. Gereja tidak mengkampanyekan emansipasi, tapi menawarkan sebuah susunan penghisapan yang baru.

Sebagaimana bagi kaum tani dan kaum miskin kota: sepanjang mereka tahu dan menerima “tempat mereka” dalam struktur klas yang ketat, bagi kaum termiskin ia menawarkan sebuah struktur amal-derma dan dukungan yang menyediakan kelegaan sesaat untuk kemiskinan dan ketidakpastian mereka yang terburuk. Bahkan bila ditumpulkan, ia menawarkan sebuah rasa komunitas. Hampir sama sekali unik dalam Kerajaan Romawi, gereja memiliki suatu struktur yang terbatas, lebih lanjut sesuatu yang menawarkan keanggotaan pada suatu gereja yang nasional bahkan internasional. Karena alasan-alasan ini ia memiliki daya tarik yang tidak sepadan kepada kaum miskin dan kaum tertindas; sesungguhnya ia diejek sebagai sebuah gerakan “kaum budak dan perempuan.”

Penganiayaan

Segera setelah ia disokong oleh kekuasaan negara, Gereja menghancurkan lawan-lawannya. Penganiayaan Romawi atas Gereja dalam tiga abad pertama terlalu dibesar-besarkan. Itu tampak pucat bila dibandingkan dengan penganiayaan mengerikan yang ditimpakan Gereja terhadap semua sekte yang tidak ortodoks segera sesudah ia disokong oleh kekuasaan imperial. Buku-buku dan para pemimpin ajaran sesat dibakar. Sejarah teologis ditulis-ulang. Mitos ditumpuk di atas mitos, abad demi abad. Sedemikian banyaknya, sehingga sekarang pun para “sejarahwan” memperlakukan Perjanjian Baru seperti sebuah naratif-historis yang sesungguhnya, dan bukan sebagai yang seharusnya, yakni sebuah cerita yang tak lebih benar daripada “Iliad” atau “Beowulf.”

Dalam beberapa ratus tahun saja semua bukti tentang keberadaan sekte-sekte Kristen lainnya, termasuk prasejarah mereka di Palestina, dihancurkan semuanya. Gereja menjadi – dan tetap sampai sekarang – sebuah kekuatan konservatif yang berkuasa, baik secara politik, finansial, dan diplomatik (dan pernah suatu ketika, secara militer).

Dalam pengantarnya untuk A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right, Marx merujuk pada agama sebagai “jeritan kaum tertindas”. Ia menjelaskan bahwa yang membiakkan dukungan bagi agama bukan spiritualitas, bukan pula kelangkaan spiritualitas, tetapi alienasi massa-rakyat dari masyarakat klas.

Krisis kapitalisme pada akarnya adalah krisis dari suatu sistem ekonomi yang membusuk. Tapi krisis kapitalisme juga memanifestasikan diri sebagai krisis ide-ide. Bagi jutaan orang, pengharapan dan aspirasi mereka sedemikian terkekang oleh batas-batas dunia kapitalis, sehingga mereka memproyeksikan pengharapan-pengharapan mereka pada kehidupan setelah kematian. Dan, sebagaimana dalam dekade-dekade pertama dari milenium pertama, demikian juga dalam zaman kapitalisme, gerakan-gerakan religius dan mesianik baru mencerminkan jalan buntu intelektual dan moral dari sebuah masyarakat yang gagal dan sedang mengalami keruntuhan. Marx melanjutkan:

“… Berseru agar mereka menghentikan ilusi-ilusi tentang kondisi-kondisi mereka berarti berseru agar mereka menghentikan kondisi yang memunculkan ilusi-ilusi itu. Karena itu, kritik terhadap agama dalam tahap awal merupakan kritik terhadap lembah air mata di mana agama muncul sebagai lingkaran cahayanya.”

Demikianlah Marx memperjelas bahwa yang menjadi soal bukanlah “menghapuskan” agama. Itu gagasan yang menggelikan. Untuk memerangi tahayul dan kebodohan, tugas kaum sosialis adalah berjuang melawan kondisi-kondisi material yang di atasnya perkara-perkara tersebut tumbuh-berkembang – dan di atas segalanya itu berarti perjuangan melawan kapitalisme.

Diterjemahkan oleh Pandu Jakasurya dari “Foundations of Christianity”, John Pickard, 23 Desember 2009