Peran yang Dimainkan Negara dalam Pembangunan Kapitalisme di Jepang

Indonesian translation of The role played by the state in the development of capitalism in Japan (21 July 2011)

Pandangan klasik tentang bagaimana kapitalisme berkembang adalah di dalam masyarakat feodal suatu klas timbul, yang terdiri dari para pedagang, bankir, para industrialis awal, yakni burjuasi, dan  bahwa supaya klas ini mampu mengembangkan potensi penuhnya sebuah revolusi burjuis diperlukan untuk mematahkan batas-batas yang diimposisikan oleh aristokrasi feodal bertanah. Itulah bagaimana hal-ihwalnya berkembang, kurang lebih, di negeri-negeri seperti Prancis dan Inggris, tapi tidak di Jepang.

Hanya karena begitulah kapitalisme lahir di beberapa negeri kapitalis maju tidak sama sekali berarti bahwa proses yang sama harus berulang lagi dan lagi di semua negeri di seluruh dunia. Faktanya, bila kita menyimak kebanyakan negeri sekarang ini, tidak begitulah hal-ihwal yang berkembang.

Ada alasan yang memadai untuk hal ini. Sekali beberapa bangsa kapitalis terindustrialisasi maju telah muncul di atas panggung sejarah, mereka cenderung untuk mendominasi bagian selebihnya dari dunia. Begitulah fenomena kapitalisme. Keberadaan negeri-negeri industrial yang perkasa, dengan level produktivitas yang tinggi dan metode-metode teknologi yang maju, berarti bahwa langkah kemunculan yang berangsur-angsur dari suatu burjuasi lokal terblokir di negeri-negeri yang kurang berkembang.

Ini adalah idea utama yang dikembangkan Trotsky dalam teorinya tentang Revolusi Permanen. Peristiwa-peristiwa di Rusia pada tahun 1917 mengukuhkan ketepatan teori ini. Burjuasi Rusia tidak sanggup memimpin revolusinya sendiri. Tidak seperti burjuasi Prancis pada abad 18 atau burjuasi Inggris pada abad 17, burjuasi Rusia terikat tangan dan kakinya pada kepentingan-kepentingan bangsa-bangsa imperialis yang perkasa. Itulah sebabnya tugas melaksanakan revolusi burjuis jatuh pada kaum proletar Rusia, klas revolusioner sejati satu-satunya di Rusia pada waktu itu. Tentu saja, fakta sudah adanya proletariat modern di Rusia berarti bahwa pada awal tugas melaksanakan revolusi burjuis, kaum buruh akan beralih ke tugas-tugas sosialis dalam sebuah proses “yang permanen”, tapi ini bukan pokok bahasan artikel ini.

Apa yang menjadi perhatian kita di sini adalah suatu fenomena dimana justru karena kelemahan suatu klas yang dianggap sebagai pemimpin suatu proses, yakni perkembangan kapitalisme dalam kasus ini, klas yang lain mengambil tugas tersebut bagi dirinya sendiri. Ketika klas yang seharusnya memainkan peran kepemimpinan atas revolusi burjuis terlalu lemah, atau terlalu bergantung pada kekuatan-kekuatan burjuis yang lebih perkasa, klas lain akan bertindak. Jepang adalah suatu contoh yang jelas dari fenomena semacam itu.

Preseden Historis

Dari sejarah Jepang kita memiliki sejumlah contoh bagaimana suatu klas penguasa, atau kasta, dapat dengan sadar mengadopsi suatu sistem ekonomi lain bila klas tersebut menganggap sistem ekonomi tersebut unggul dan cocok untuk mempromosikan dan mempertahankan kepentingan-kepentingan kelompok penguasa tersebut.

Negara Yamato di Jepang pada abad ke-6 mengadopsi Buddhisme, yang diambilnya dari Tiongkok, dan dengan itu datanglah upaya untuk mengadopsi sistem ekonomi Tiongkok, yang adalah modus produksi Asiatik. Pada waktu itu, Tiongkok memiliki peradaban dan tingkat perkembangan yang lebih maju daripada di Jepang.

Klas-klas penguasa di Jepang akan diserang dan dijajah. Karena itu mereka berharap pada Tiongkok, dan berusaha meniru sistem ekonomi dan hukumnya. Keluarga-keluarga yang kaya-raya mengirim putera-putera mereka ke Tiongkok untuk mempelajari sistem ekonomi dan hukum di sana. Pada tahun 645 ini mendorong diperkenalkannya sebuah pembaruan besar, yakni nasionalisasi tanah. Ini merupakan suatu upaya untuk memasukkan ke Jepang sistem ekonomi yang ada di Tiongkok. Dalam suatu kurun waktu tertentu, pembaruan ini berhasil dan memungkinkan Jepang berkembang. Tapi karena kondisi-kondisi geografis yang menjadi basis sistem Tiongkok tidak ada di Jepang, kepemilikan negara atas tanah tidak dapat berfungsi dengan baik, dan pada akhir abad ke-7 sistem tersebut bergeser menjadi kepemilikan tanah pribadi dan dengan demikian menjadi feodalisme. Pada akhir abad ke-10 setengah dari keseluruhan tanah dimiliki secara pribadi.

Dalam kondisi-kondisi ini, raja-raja perang feodal lokal muncul dan Jepang mengalami periode-periode peperangan yang panjang di antara beragam klan. Negeri itu memerlukan waktu berabad-abad untuk bersatu di bawah satu maharaja dan satu kekuasaan sentral. Setelah mencapainya, elit penguasa berupaya menutup Jepang dari segala pengaruh dari luar. Sejak sekitar tahun 1600, selama dua abad, Jepang benar-benar menjadi sebuah masyarakat yang tertutup, dengan aristokrasi feodal yang mempertahankan cengkeraman kuat atas kekuasaan, dengan menggunakan segala cara yang mungkin untuk mencekik tiap-tiap upaya yang dapat berdampak pada sumber kekayaan, kepemilikan atas tanah, dan kaum tani yang terikat pada tanah tersebut. Faktanya, beberapa sejarawan telah mengomentari fakta bahwa bila seorang pengunjung yang datang ke Jepang pada tahun 1600 dapat kembali pada tahun 1800 atau 200 tahun kemudian, ia akan sukar untuk menemukan perubahan apapun. Kendati demikian, ada suatu tingkat pembangunan bertipe kapitalis, khususnya pada babakan pertama abad ke-19. Tapi ini dikekang dalam batas-batas negara feodal.

Namun, di lain tempat kapitalisme sedang berkembang, di Eropa dan Amerika. Tidak bisa tidak ini berdampak pada Jepang. Di negeri tetangganya, Tiongkok, klas penguasa Jepang dapat melihat dampak Perang Candu yang dipicu Barat. Tiongkok sedang mengalami kolonisasi, dan aristokrasi Jepang takut mengalami nasib yang sama. Mula-mula mereka berupaya memperketat kontrol mereka dan menghentikan pengaruh asing. Tapi keadaan berubah pada bulan Juli 1853, ketika Komodor AS Matthew Perry memasuki Teluk Edo dengan empat kapal laut. Ia datang dengan tuntutan-tuntutan yang sangat jelas: perlakuan yang lebih manusiawi kepada orang-orang asing yang mendarat di Jepang, pembukaan pelabuhan-pelabuhan bagi kapal-kapal asing untuk perbekalan dan bahan bakar, dan yang paling penting pembukaan pelabuhan-pelabuhan untuk perdagangan. Perry memberi Jepang waktu satu tahun untuk mempertimbangkan permintaan-permintaan ini. Untuk mempertegasnya ia memberi mereka bendera-bendera putih yang mungkin akan mereka perlukan bila ia kembali satu tahun kemudian. Faktanya Perry kembali pada bulan Februari 1854 dan shogun-shogun Jepang menerima semua tuntutannya, termasuk pembukaan sebuah kantor konsulat Amerika Serikat di Jepang. Tekanan dari luar ini memprovokasi konflik di dalam aristokrasi Jepang. Ke-shogun-an disingkirkan dan maharaja “dipulihkan” pada tahun 1868. Tapi kekuasaan yang riil beralih pada mereka yang ada dalam klas penguasa yang mendukung “westernisasi” sebagai sarana melawan kekuatan-kekuatan Barat.

Apa yang dimaksud dengan “westernisasi” adalah pembangunan industri. Maka dimulailah sebuah periode industrialisasi. Sebagian darinya adalah upaya meletakkan infrastuktur dasar bagi pembangunan kapitalis, dengan prioritas yang diberikan pada pembangunan jejaring kereta api. Pada tahun-tahun 1870-1874 sepertiga investasi pemerintah dikerahkan pada sistem perkeretapian. Burjuasi Jepang lemah dan tidak secara langsung memimpin proses ini.

Burjuasi yang Lemah

Sebagaimana dinyatakan Kenneth Henshall dalam karyanya, A History of Japan, from Stone Age to Superpower (1999),

“Pada umumnya keluarga-keluarga pedagang dari periode Tokugawa tidak secara khusus bersedia menghadapi tantangan mendirikan industri-industri modern, yang mereka pandang terlalu berisiko. Faktanya, hanya Mitsui dan Sumimoto yang merupakan keluarga-keluarga yang melakukannya. Alih-alih, dalam kebanyakan kasus prakarsa-prakarsa entrepreneurial diambil entah oleh pemerintah atau oleh ‘klas’ yang sama dari samurai tingkat rendah – sering dengan asosiasi-asosiasi kaum tani – yang membentuk pemerintahan.”

Dan kendati ada beberapa eks-samurai yang memainkan suatu peran dalam pembangunan industri, “setidaknya dalam tahun-tahun permulaan, pemerintah kecewa atas ketiadaan pengusaha swasta. Ini diakhiri pemerintah dengan mendirikan banyak perusahaan. Harapannya, perusahaan-perusahaan ini akan berperan sebagai model-model yang berhasil untuk diikuti oleh industri-industri swasta …”

Henshall melanjutkan penjelasannya, “Semasa dekade 1870-an pemerintah juga mendirikan pabrik-pabrik dalam industri-industri seperti persenjataan, batu-bata, semen, dan kaca, serta mengambilalih sejumlah pertambangan dan galangan-galangan pembuatan kapal.”

Jepang saat itu masih mempunyai corak utama sebagai negeri agraris. Pertanian berkontribusi 42% dari GDP. Ini artinya, sejumlah besar buruh tani murah tersedia bagi pekerjaan di pabrik-pabrik yang semakin berorientasi ekspor. Pada dekade 1880-an, ekspor berkontribusi 6-7% dari GNP, tapi dalam periode Meiji ekspor tumbuh mencapai 20%.

Guna mendapatkan teknologi maju Barat yang dibutuhkan, perusahaan-perusahaan didorong untuk membentuk joint venture. Perusahaan-perusahaan terkenal seperti NEC (Nippon Electric Company/ Perusahaan Listrik Jepang) bermula sebagai joint venture dengan perusahaan-perusahaan Amerika.

Dan sebagaimana dijelaskan Henshall: “Di sepanjang periode Meiji pemerintah memainkan peran pemandu yang penting dalam perekonomian, dengan membangun dan mempertahankan relasi-relasi dengan dunia bisnis, dan menawarkan bantuan dalam bidang-bidang yang disukainya dan  kepada perusahaan-perusahaan yang disukainya..” Dan setelah menjelaskan bahwa pemerintah tidak selalu melakukannya dengan benar, ia menyatakan, “Namun, satu hal yang pasti – pemerintah enggan meninggalkan pembangunan ekonomi pada kekuatan-kekuatan pasar. Dan ini masih benar sampai sekarang.”

Peran Negara dalam Perekonomian

E. Sydney Crawcour dari Universitas Nasional Australia, dalam karyanya, “Industrialization and Technological Change, 1885-1920” (Bab II dari buku The Economic Emergence of Modern Japan, yang disunting oleh Kozo Yamamura, 1997), menunjukkan bahwa, “Tidak ada penjelasan tentang industrialisasi dan perubahan teknologis di Jepang antara 1885 dan 1920 akan lengkap atau memuaskan tanpa mempertimbangkan peran negara.” Dan seolah nyaris menjawab pemikiran “neo-liberal” di akhir-akhir ini, yakni bahwa pasar adalah jawaban atas segala sesuatu, ia menegaskan yang berikut ini:

“Beberapa pakar ekonomi menentang intervensi negara atas dasar bahwa negara tidak dapat meningkatkan total output di atas level yang dapat dihasilkan oleh kinerja pasar-pasar yang kompetitif. Namun, pasar-pasar persaingan bebas tidak secara niscaya merupakan strategi yang paling baik bagi pertumbuhan dinamis jangka-panjang. Secara spesifik, kekuatan-kekuatan pasar tidak memaksimalkan pertumbuhan jangka-panjang ketika pengembalian-pengembalian dari suatu investasi bergantung pada perkemebangan-perkembangan lain di luar kendali investor. Kita telah melihat bahwa pada dekade 1890-an sebuah pabrik penempaan besi atau suatu pabrik baja yang terisolasi tidak akanmendatangkan keuntungan. Sebuah tambang batubara tidak bisa mendatangkan keuntungan tanpa kereta-api yang akan membawa produknya ke pasar, tapi sebuah kereta-api tidak bisa ekonomis tanpa pembangunan baik pertambangan batubara maupun industri-industri yang mendampinginya. Tapi semuanya ini bisa menjadi investasi-investasi yang sangat produktif sebagai bagian dari suatu program pembangunan yang didukung negara.”

Di sini kita melihat bagaimana intervensi dapat menjadi suatu bagian yang esensial bagi pembangunan ekonomi yang bahkan didasarkan pada suatu basis kapitalis. Sang pengarang bahkan merujuk pada keunggulan-keunggulan dari metode tersebut di “perekonomian yang berkembang belakangan” (late-developing economy).

Dalam semua pembangunan ekonomi ini, apakah kekuatan penggeraknya? Apakah kekuatan penggeraknya adalah burjuasi yang sedang timbul sebagaimana di Inggris pada masa Cromwell atau Revolusi Prancis 1789? Tidak, bukan burjuasi. Kekuatan penggerak datang dari luar. Tekanan dari negeri-negeri kapitalis maju, yang mengancam posisi aristokrasi feodal Jepang, itulah yang membuat sebagian aristokrasi tersebut mendorong modernisasi, yakni industrialisasi, yang berarti kapitalisme. Karena burjuasi terlalu lemah untuk memainkan peran historisnya, tugas tersebut jauh pada klas lain, dalam kasus ini klas samurai melalui kontrolnya atas negara.

Henshall menjelaskan:

“Samurai muda yang memimpin kudeta [1868] atas namanya [maharaja yang masih bocah] mampu mengkonsolidasikan kontrol mereka atas pemerintahan dan membawa suatu stabilitas kepada negeri di tengah semua perubahan.

“Tujuannya adalah membangun suatu bangsa yang kuat yang dapat menandingi, bahkan mungkin mengungguli Barat pada akhirnya.”

Dan siapa yang menghapuskan sistem feodal? Bukan burjuasi, yang terlalu lemah untuk melakukannya, melainkan unsur-unsur dari dalam aristokrasi feodal sendiri. Sebagaimana dijelaskan Henshall lagi, “Sistem klas feodal yang restriktif dihapuskan, termasuk klas samurai darimana para pemimpin pemerintahan itu sendiri datang.”

Dalam suatu kurun waktu yang sangat singkat, Jepang muncul sebagai sebuah kekuatan ekonomi dan bersama dengan itu menjadi kekuatan militer, ketika ia melakukan ekspansi melampaui perbatasan-perbatasannya dengan membangun kemaharajaannya sendiri di sebelah timur. Sebagai tambahan, kendati klas penguasa Jepang telah mengkopi Barat dalam hal pembaruan ekonomi, ia tidak mengkopi lembaga-lembaga politik Barat. Sebagaimana dijelaskan Henshall, “Kabinet kaum oligarki tetap ‘transendental’ – suatu hukum bagi dirinya sendiri – dan kebebasan-kebebasan sangat-sangat dibatasi …”

Di sini kita mempunyai analogi-analogi yang berguna dengan Tiongkok masa kini. Siapa yang memiliki kekuasaan di Jepang pada akhir abad ke19 dan babakan awal abad ke-20? Burjuasi masih terlalu lemah untuk melaksanakan kontrol atas negara. Namun, negara membangun sebuah Jepang yang kapitalis dan modern. Apakah Jepang merupakan negara burjuis pada tahun 1870? Kita harus menjawab pertanyaan ini dengan “ya” maupun “tidak”. Bila orang ingin menilainya murni dari orang-orang yang memimpin negara, yakni kaum aristokrat feodal yang sama dari masa silam, ia akan membuat kekeliruan bila menilainya “feodal”. Di sini duduk masalahnya adalah bahwa unsur-unsur yang datang dari dalam aristokrasi feodal tua ada di pucuk pimpinan suatu negara yang sedang membangun fondasi-fondasi sebuah perekonomian kapitalis yang perkasa. Kendati pada waktu itu mereka ada pada tahapan-tahapan awal pembagunan, arahnya jelas: menuju kapitalisme. Dalam artian itu, Jepang merupakan sebuah negara burjuis. Bila orang mengajukan pertanyaan yang tepat, yakni ke arah mana negara tersebut bergerak, jawabannya sudah barang tentu menuju kapitalisme, dan itulah yang pada akhirnya akan mendefinisikan watak fundamental negara tersebut.

Satu poin yang amat sangat relevan dan menarik berkenaan pertanyaan ini justru kita temukan dalam salah satu tulisan Trotsky, “Bukan sebuah negara buruh dan bukan sebuah negara borjuis?” (25 November 1937): “Pernyataan bahwa birokrasi dari sebuah negara kaum buruh mempunyai suatu watak burjuis sama sekali tidak akan dapat dipahami dan tidak masuk akal bagi mereka-mereka yang cara berpikirnya formal. Namun, suatu tipe negara yang murni tidak pernah ada, dan tidak eksis pada umumnya. Monarki Prusia yang semi-feodal menjalankan tugas-tugas burjuasi yang paling penting, tapi menjalankannya menurut caranya sendiri, yakni dengan gaya yang feodal, bukan Jacobin. Di Jepang kita mengamati bahkan saat ini sebuah korelasi yang serupa antara karakter negara yang borjuis dan karakter kasta penguasa yang semi-feodal. Tapi semua ini tidak menghalangi kita untuk membedakan dengan jelas antara masyarakat feodal dan masyarakat burjuis.”

Peran Imperialisme AS

Fakta bahwa Jepang tidak pernah mengalami sebuah “revolusi burjuis” meninggalkan sisa-sisa negara feodal lama pada tempatnya, yakni Kaisar Jepang misalnya. (Ini bahkan benar sehubungan dengan Inggris dan monarkinya, serta House of Lords sampai hari ini!). Kebanyakan dari sisa-sisa ini akhirnya disingkirkan oleh pendudukan tentara AS di bawah Jenderal Douglas MacArthur. Dalam memoarnya MacArthur menjelaskan bahwa kendati tujuannya adalah menghancurkan kemampuan Jepang untuk berperang, ia juga mendorong “modernisasi”. Dalam kata-katanya, yang diperlukan adalah, “Membangun struktur pemerintahan yang representatif. Modernisasikan konstitusi. Adakan pemilihan umum yang bebas. Beri kaum perempuan hak suara. Bebaskan tahanan-tahanan politik. Bebaskan para petani. Dirikanlah suatu gerakan buruh yang bebas. Doronglah suatu perekonomian yang bebas. Hapuskan penindasan polisi. Bangunlah suatu pers yang bebas dan bertanggungjawab. Liberalkan pendidikan. Desentralisasikan kekuasaan politik. Pisahkan gereja dari negara… ”

Meskipun beberapa dari yang dikatakan McArthur adalah demagogi semata, mereka melaksanakan reforma agraria yang penting pada tahun 1946, yang dengannya para petani diizinkan memiliki tanah sebanyak yang dapat mereka kelola. Pemerintah melangkah lebih jauh dengan membeli tanah dari tuan-tuan tanah yang tidak aktif mengerjakannya, dan mendistribusikannya kepada para petani kecil. Langkah ini jelas sangat dipengaruhi oleh ketakutan terhadap revolusi, karena “Komunisme” [yakni Stalinisme] sedang menyebar ke bagian-bagian luas dunia, terutama di negeri tetangga, Tiongkok.

Kaum imperialis Amerika mempunyai alasan yang baik untuk mendorong reforma tersebut karena di Jepang sebuah gerakan serikat buruh yang perkasa telah berkembang, bersama dengan sebuah Partai Komunis yang besar. Untuk memotong perkembangan-perkembangan itu, Amerika mendorong penyelesaian akhir dari revolusi burjuis Jepang.

Jadi, Jepang menjadi sebuah negeri kapitalis yang perkasa dan maju, bahkan salah satu perekonomian kapitalis yang paling sukses dalam periode paska perang, dengan mempertahankan tingkat pertumbuhan di atas 10% per tahun selama beberapa tahun. Akhirnya Jepang pun tunduk pada kontradiksi-kontradiksi kapitalisme dan pada akhir dekade 1980-an memasuki sebuah krisis yang berkepanjangan. Namun, transformasi kapitalis modern Jepang terjadi di bawah panduan satu seksi aristokrasi feodal lama.

Perkembangan di dalam Jepang ditentukan oleh situasi dunia. Sebuah seksi dari elit penguasa Jepang, yang sampai dengan awal 1800-an adalah suatu aristokrasi feodal, dapat melihat bahwa posisi dan kekuasaan mereka sendiri akan terancam oleh negeri-negeri yang terindustrialisasi yang lebih kuat, kecuali kalau mereka juga membangun industri. Tidak ada revolusi burjuis, melainkan serangkaian langkah-langkah yang bermuara pada sebuah Jepang kapitalis yang modern.

Kita bisa juga mengambil contoh perkembangan historis kapitalisme Jerman, di mana modernisasi (yakni industrialisasi dan dengan demikian kapitalisme) didorong oleh para Junker, yakni unsur-unsur dari aristokrasi tuan tanah feodal yang lama. Bismarck adalah contoh yang paling bagus, tapi ini bahan untuk artikel yang lain.

Poin utamanya adalah dua negeri industrial yang paling maju di planet ini, Jerman dan Jepang, muncul dari masa lalu feodal mereka tidak melalui revolusi-revolusi burjuis yang klasik, tipe Prancis, tapi melalui suatu proses yang diarahkan oleh kebutuhan-kebutuhan elit penguasa dari suatu sistem yang tidak lagi bisa mempertahankan kepentingan-kepentingannya dengan tetap berpegang erat pada feodalisme.