Indonesia: Kesuksesan Peluncuran Buku Revolusi Permanen Awal Diskusi Sejati mengenai Trotsky

Dengan kerja keras dari aktivis-aktivis Indonesia, akhirnya buku Revolusi Permanen karya Leon Trotsky diterbitkan pada Maret 2009.

Dengan kerja keras dari aktivis-aktivis Indonesia, akhirnya buku Revolusi Permanen karya Leon Trotsky diterbitkan pada Maret 2009. Ini adalah penerbitan buku karya Trotsky pertama kalinya di Indonesia. Penerbitan buku ini adalah sebuah bagian penting dari pertumbuhan gerakan kiri di Indonesia untuk menemukan orientasi revolusioner melalui pembelajaran sejarah dan menganalisa ide-ide para aktivis pendahulunya. Kemunculan buku Revolusi Permanen dalam bahasa Indonesia ini akan membuka ruang belajar bagi gerakan kiri untuk memahami sejarah dan teori-teori yang selama ini tidak didapatkannya dalam bahasa Indonesia.  

Indonesia: Kesuksesan Peluncuran Buku Revolusi Permanen Awal Diskusi Sejati mengenai TrotskyPeluncuran buku Revolusi Permanen pertama kalinya diselenggarakan di Gedung IKA Brawijaya-Malang, pada 3 Maret 2009. Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) mempelopori peluncuran buku ini dengan menghadirkan dua narasumber: Jesus Syaiful Anam dari Hands Off Venezuela (HOV) Indonesia dan Romo Robertus Wijanarko, dosen Universitas Brawijaya. Lebih dari 50 orang mahasiswa dan buruh memadati gedung itu.

Acara itu juga sekaligus meluncurkan HOV-Malang, dengan penayangan film dokumenter mengenai gerakan okupasi pabrik di Venezuela, No Volveran, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, di Indonesia, kampanye Hands Off Venezuela telah berkembang di kota Jakarta, Bandung, dan Malang. 

Romo Robertus memulai acara ini dengan mengulas buku tersebut, walaupun hanya hanya di permukaan saja. Agaknya dia belum menguasai pemikiran Trotsky, satu hal yang tidak mengejutkan karena ini adalah buku karya Trotsky yang pertama di Indonesia. Kendati demikian, ia mengatakan bahwa Revolusi Permanen-nya Trotsky adalah cita-cita revolusi lintas negara. "Kita sudah dikepung oleh jargon-jargon neoliberalisme melalui media massa dan lain-lain," katanya. Wijanarko menilai buku itu layak dipelajari. Buku itu menyebarluaskan sosialisme yang berakar dari pemikiran Karl Marx yang diteruskan dan diterjemahkan oleh Lenin dan Trotsky.  

Syaiful Anam menguraikan buku tersebut dalam konteks revolusi di Venezuela. "Sosialisme di Venezuela tidak akan kokoh tanpa dukungan internasional," kata Jesus Syaiful Anam. Presiden Venezuela, Hugo Chavez, juga menyerukan agar mempelajari Trotsky untuk jalan menuju sosialisme. 

Setelah penguraian oleh kedua panel tersebut, beberapa mahasiwa melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak pada persoalan: mengapa harus buruh yang harus memimpin revolusi? Bagaimana dengan kaum tani? Pertanyaan semacam ini merefleksikan sekali lagi kesalahpahaman dan juga mitos terhadap pemikiran Trotsky yang kerap dituding tidak menggubris kaum tani.  

Acara peluncuran buku ini diakhiri dengan menyanyikan lagu Internasionale. Kaum muda dan buruh, dengan tangan terkepal, menyanyikan lagu revolusioner kaum proletar.  

Bedah Buku Revolusi Permanen di Yogyakarta: Sebuah Awal dari Debat Revolusi Permanen 

Tidak lama berselang, sebuah acara bedah buku Revolusi Permanen diselenggarakan pada 10 Maret 2009 di gedung Multimedia Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada dengan tema "Relevansi Teori Revolusi Permanen dengan Situasi Nasional Saat Ini". Acara itu diinisiasi oleh Resist Book Yogyakarta dan Sintesa Universitas Gajah Mada. Ada sekitar 45 orang peserta dan menghadirkan tiga pembicara, yakni Jesus Syaiful Anam dari HOV-Indonesia, Daniel Indrakusuma dari Komite Politik Rakyat Miskin - Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD), dan Hakimul Ikhwan, dosen Sosiologi Universitas Gajah Mada.  

Indonesia: Kesuksesan Peluncuran Buku Revolusi Permanen Awal Diskusi Sejati mengenai TrotskyDalam sesi pertama, Jesus Syaiful Anam memaparkan sistem politik Indonesia dan ekonominya yang semakin bangkrut. Tidak ada pula keperpihakan terhadap kaum pekerja, tani, dan miskin kota, maka tidak ada solusi lain yang utuh dan sejati untuk mencapai demokrasi dan emansipasi nasional kecuali melalui revolusi sosialis dengan kaum pekerja sebagai elemen paling progresif untuk memimpinnya. Lebih jauh Syaiful Anam menjelaskan, dengan terbitnya buku Permanent Revolution dalam bahasa Indonesia, organisasi-organisasi progresif yang aktif di dalam perjuangan pembebasan rakyat akan menemukan petunjuk yang cerdas dan megah dalam perjuangan revolusionernya. 

Di sesi selanjutnya, Danial Indrakusuma, aktivis KPRM-PRD mengatakan, Revolusi Permanen  tidak relevan di mana pun, apalagi di Indonesia. Mendasarkan kritiknya dari tulisan-tulisan Doug Lorimer (1), Daniel mempertentangkan pemikiran Trotsky dan Lenin dengan mengutip Resolution on the Current Situation (Konferensi Partai Bolshevik Ketujuh, 24-29 April 1917), yang justru sebenarnya merupakan pembenaran Revolusi Permanen.

Dalam Resolution on the Current Situation, Lenin mengatakan:

"... di salah satu negara Eropa yang paling terbelakang dan di antara sebuah populasi petani kecil yang besar, kaum proletar Rusia tidak dapat dengan segera mengimplementasikan perubahan-perubahan sosialis." 

Berhenti di kutipan ini, Danial mengatakan bahwa Lenin tidak menganjurkan Soviet harus segera menerapkan program-program sosialis, dan lalu menyimpulkan kekeliruan Revolusi Permanen. Karena menurut Daniel Trotsky langsung ingin segera menerapkan sosialisme. Tapi tunggu sebentar, ternyata kalau kita membaca buku Revolusi Permanen dengan seksama, semenjak tahun 1906 (tahun dimana Hasil dan Prospek ditulis, yakni 11 tahun sebelum Resolution on the Current Situation), Trotsky menulis: 

"Kita telah menunjukkan bahwa syarat-syarat objektif untuk sebuah revolusi sosialis telah diciptakan oleh perkembangan ekonomi negara-negara kapitalis maju ... Dapatkah kita mengharapkan bahwa pemindahan kekuasaan ke tangan kaum proletar Rusia akan menjadi permulaan dari transformasi ekonomi nasional kita menjadi ekonomi sosialis? ... 'Kaum pekerja Paris,' kata Marx, 'tidak menuntut keajaiban dari Komune mereka.' Kita juga tidak boleh mengharapkan keajaiban yang segera dari kediktatoran proletar. Kekuatan politik bukanlah mahakuasa. Akan sangat menggelikan untuk berpikir bahwa kaum proletar hanya perlu mengambil kekuasaan dan kemudian menyerukan beberapa dekrit untuk menggantikan kapitalisme dengan sosialisme. Sebuah sistem ekonomi bukanlah produk dari aksi pemerintahan. Apa yang dapat dilakukan oleh kaum proletar adalah untuk menggunakan kekuasaan politiknya dengan seluruh tenaga guna mempermudah dan memperpendek jalan perkembangan ekonomi menuju kolektivisme. Kaum proletar akan memulai reformasi-reformasi ini yang terkandung di dalam apa yang disebut program minimum; dan langsung dari sini, logika posisinya akan mendorongnya ke kebijakan-kebijakan kolektivisme." (Penekanan oleh kami) (Hasil dan Prospek, Bab 8. Sebuah Pemerintahan Buruh di Rusia dan Sosialisme) 

Indonesia: Kesuksesan Peluncuran Buku Revolusi Permanen Awal Diskusi Sejati mengenai TrotskyDari kutipan ini, dan juga paragraf-paragraf selanjutnya yang menjelaskan lebih detil, sangat jelas kalau Trotsky dan Lenin memiliki pendapat yang sama. Yakni adalah sebuah kegilaan kalau kita mengira kita bisa langsung menerapkan sosialisme dengan dekrit-dekrit negara. 

Menurut Trotsky kaum proletar dengan kekuasaan politiknya harus mengambil sejumlah langkah-langkah sosialis yang praktikal (ini berbeda dengan tuduhan segera menuju sosialisme). Trotsky memberikan sebuah contoh di paragraf selanjutnya, yakni "sosialisasi produksi akan dimulai dari cabang-cabang industri yang memberikan kesulitan-kesulitan paling kecil." Lenin juga mengatakan hal yang sama di Resolution on the Current Situation, bahwa kaum proletar menjelaskan kepada seluruh rakyat: 

"...urgensi untuk mengambil beberapa langkah praktikal menuju sosialisme yang waktunya sudah matang. Langkah pertama adalah nasionalisasi tanah... langkah selanjutnya: kontrol negara terhadap semua bank, dan menggabungkan mereka menjadi sebuah bank sentral; juga kontrol terhadap agen-agen asuransi dan konglomerasi-konglomerasi kapitalis yang besar, dan implementasi secara perlahan sebuah pajak progresif yang lebih adil." 

"Beberapa langkah praktikal menuju sosialisme" (Lenin) dan "sosialisasi cabang-cabang industri yang memberikan kesulitan-kesulitan paling kecil" (Trotsky) atau "reformasi-reformasi ... [yang] mendorongnya ke kebijakan-kebijakan kolektivisme" (Trotsky) adalah dua kalimat yang terpisahkan oleh sebuah rentang waktu 11 tahun, yang intinya menjelaskan satu kesatuan ide yang sama. Secara prinsipal, Lenin dan Trotsky memegang pendapat yang sama.  

Danial lalu menggunakan tuduhan yang sudah hampir seratus tahun digunakan untuk melawan pemikiran Trotsky, yakni bahwa Trotsky mengabaikan kaum tani. Membaca buku Revolusi Permanen, sekali lagi kita bisa melihat bahwa tuduhan ini adalah sangat keliru. Trotsky menulis: 

"Hal pertama yang harus diatasi oleh rejim proletar setelah berkuasa adalah solusi masalah agraria, yang mana nasib mayoritas populasi Rusia tergantung padanya. Di dalam solusi untuk permasalahan ini, seperti halnya dengan masalah-masalah yang lain, kaum proletar akan dibimbing oleh tujuan fundamental dari kebijakan ekonominya, yakni untuk memimpin bidang pertanian sebesar mungkin guna melaksanakan organisasi ekonomi sosialisme. Akan tetapi, bentuk dan tempo dari eksekusi kebijakan agraria ini harus ditentukan oleh sumberdaya material yang dimiliki oleh kaum proletar, dan juga dengan memperhatikan supaya sekutu-sekutu potensialnya tidak terlempar ke pangkuan kaum konter-revolusioner." (Penekanan oleh kami) (Hasil dan Prospek, Bab 8. Sebuah Pemerintahan Buruh di Rusia dan Sosialisme) 

Indonesia: Kesuksesan Peluncuran Buku Revolusi Permanen Awal Diskusi Sejati mengenai TrotskyDari kutipan pendek ini saja, jelas kalau Trotsky tidak mengabaikan kaum tani. Ini yang dia katakan: 

"Kaum proletar yang berkuasa akan berdiri di depan kaum tani sebagai sebuah kelas yang telah membebaskan mereka. Dominasi kaum proletar ... juga akan berarti pengesahan seluruh perubahan relasi tanah (penyitaan tanah) yang revolusioner yang dilakukan oleh kaum tani. Kaum proletar akan membuat perubahan relasi tanah ini sebagai titik awal kebijakan negara di dalam pertanian. Di bawah kondisi ini, pada periode awal dan yang paling sulit dari revolusi,  kaum tani Rusia akan tertarik untuk mempertahankan rejim proletar (rejim demokrasi buruh) pada setiap kesempatan seperti halnya kaum tani Prancis dalam mempertahankan rejim militer Napoleon Bonaparte - yang menjamin para pemilik-properti baru hak kepemilikan mereka dengan kekuatan bayonetnya." (Hasil dan Prospek, Bab 6. Kaum Proletar Berkuasa dan Kaum Tani) 

Apakah Trotsky menganjurkan penyitaan tanah seluruh kaum tani dan kolektivisasi dengan segera? Tidak. Seperti yang ia lalu uraikan juga: 

"...dengan mudah dapat dibayangkan berapa besarnya perlawanan yang akan dibangkitkan oleh usaha untuk mengubah tanah komunal dan lahan kecil milik pribadi menjadi milik negara. Bila rezim baru ini melakukan hal ini, mana ia akan membangkitkan sebuah oposisi besar dari kaum tani ... Rezim yang baru ini tidak akan meraih apapun secara ekonomi dengan menyita lahan kecil dan tanah komunal ... Secara politik, rezim yang baru ini akan membuat sebuah kesalahan yang teramat besar, karena ini akan membuat massa tani melawan kaum proletar kota sebagai pemimpin kebijakan revolusioner." (Hasil dan Prospek, Bab 8. Sebuah Pemerintahan Buruh di Rusia dan Sosialisme) 

Sesi ketiga ditutup oleh dosen Hakimul Ikhsan, yang memaparkan pandangannya mengenai Revolusi Permanen dengan sangat hati-hati. Ia begitu antusias menyambut penerbitan buku karya Trotsky ini dalam bahasa Indonesia sebagai perluasan bacaan atas Marxisme di Indonesia. Acara ini ditutup dengan tanya-jawab dimana para hadirin melontarkan pertanyaan-pertanyaan mengenai Marxisme. 

Diskusi-diskusi semacam ini akan menjadi semakin konkrit dengan diterbitkannya buku Revolusi Permanen dalam bahasa Indonesia yang dapat dibaca oleh aktivis-aktivis buruh dan muda Indonesia. Sudah terlalu lama serangan-serangan fitnah dilakukan terhadap ide Revolusi Permanen yang hanya berdasarkan sumber mulut-ke-mulut mengenai pemikiran Trotsky. Dengan diterbitkannya buku ini, maka para aktivis bisa langsung mempelajari Revolusi Permanen dari sang penulis sendiri dan memulai sebuah diskusi yang jujur dan terbuka mengenai prospek revolusi di Indonesia sekarang ini dalam konteks pemikiran Trotsky.

 

More photographs

Open the Gallery


(1) Pada 2008, Doug Lorimer and kelompok minoritas di dalam tubuh DSP memisahkan diri dan membentuk LFP.