Krisis Kapitalisme dan Tugas-Tugas Kaum Revolusioner 1

Dunia kita sedang berubah, memasuki sebuah periode transisional dari satu epos ke epos lainnya. Berikut ini adalah perspektif dunia untuk mehamami proses tersebut dan memberikan kita, kaum revolusioner, arahan untuk bertindak dan membawa sosialisme ke muka bumi.

I. Pengantar

Dua dekade telah berlalu sejak kejatuhan Stalinisme. Dalam kurun waktu ini kita telah mengalami suatu ofensif ideologis yang sebelumnya tidak pernah terjadi dari pihak borjuasi. Tekanan ideologi borjuis dan borjuis-kecil terhadap gerakan kaum pekerja telah meningkat ribuan kali lipat. Ide-ide asing telah berdampak pada gerakan buruh internasional. Banyak orang meninggalkan gerakan sama sekali. Yang lainnya tetap tinggal, tetapi terinfeksi oleh suasana-batin skeptisisme dan sinisme terhadap perspektif sosialisme.

Dalam periode yang sarat dengan kebingungan, penyimpangan ideologi dan ketersesatan, gagasan-gagasan revisionis mekar bersemi, yang mencerminkan tekanan-tekanan kapitalisme. Periode seperti ini bukanlah satu hal yang unik. Kita telah menyaksikan hal ini sebelumnya, dan kita telah mendengar semua argumen yang selalu sama. Secara umum, kaum revisionis tidak pernah menghasilkan argumen-argumen yang dikemukakan dengan jauh lebih baik oleh Bernstein [Edward Bernstein (1850-1932) adalah seorang sosial demokrat  Jerman, yang merupakan ahli teori reformisme terkemuka] seratus tahun yang lalu: bahwa kapitalisme telah memecahkan persoalan-persoalannya, bahwa krisis-krisis ekonomi adalah cerita masa silam, bahwa perjuangan klas dan revolusi tidak lagi menjadi agenda, bahwa kita membutuhkan “ide-ide yang baru” untuk menggantikan ide-ide “yang lama” dari Marx dan Engels, dst., dst.

Internasionale kita berdiri teguh melawan kecenderungan-kecenderungan ini. Kita berdiri untuk Marxisme, dan untuk sebuah kebijakan klas yang revolusioner. Peristiwa-peristiwa telah membuktikan bahwa dengan pendirian tersebut kita telah melakukan hal yang benar. Dokumen Perspektif Dunia 2006 menyatakan bahwa kita telah memasuki satu periode yang sarat dengan kekacauan yang berskala dunia, suatu periode yang dipenuhi krisis, peperangan-peperangan, revolusi, dan kontra-revolusi: suatu periode yang di dalamnya krisis-krisis ekonomi, sosial, dan politik saling mempengaruhi satu sama lain secara signifikan. Kita percaya bahwa karakterisasi umum atas periode ini tepat, dan situasi masa kini mencerminkan hal ini dengan jelas.

Kita hidup dalam sebuah periode yang sarat dengan ketidakpastian dan krisis-krisis, suatu periode yang dimana seluruh situasi dapat berubah drastis dalam hitungan minggu bahkan hari. Ketidakstabilan umum ini termanifestasi secara dramatis oleh  keruntuhan finansial yang segera diikuti oleh suatu kemerosotan perekonomian dunia dalam skala yang belum pernah terjadi sejak Perang Dunia Kedua. Dalam tataran politik, peristiwa-peristiwa revolusioner di Honduras dan, terlebih lagi, Iran, yang bagi banyak orang seperti serbuan halilintar dari langit yang biru-jernih, memperlihatkan bahwa peralihan-peralihan situasi yang tajam dan tiba-tiba tidak dapat dielakkan. Sekarang Yunani berdiri di pinggir jurang keruntuhan finansial dan pergolakan sosial.

Kekacauan yang dahsyat ini mempersukar tugas pembuatan perspektif. Kita tahu betul bahwa sementara fisika klasik dapat dengan mudah menjelaskan dan memprediksi aliran air yang teratur, tapi tidak dapat menjelaskan atau memprediksi pusaran air, yang mempunyai karakter yang kompleks dan kacau-balau. Dalam situasi seperti saat ini, yang jelas mempunyai karakter transisional yang menandai peralihan dari periode-historis yang satu dengan yang lain, sebuah analisa teoritis yang tepat adalah semakin diperlukan – tapi juga lebih rumit daripada yang sudah-sudah.

“Adalah di dalam periode-periode semacam itu bahwa segala macam situasi dan kombinasi transisional muncul, sebagai suatu perkara yang niscaya, yang mengganggu pola-pola yang lazim dan semakin membutuhkan suatu perhatian teoritis yang mantap. Pendeknya, bila di dalam kurun waktu yang damai dan “organis” (sebelum perang) kita masih dapat bergantung pada segelintir abstraksi yang sudah jadi, dalam waktu kita sekarang ini setiap peristiwa dengan sangat kuat menghadirkan hukum dialektika yang paling penting: Kebenaran itu selalu konkret.” (Leon Trotsky, Bonapartism and Fascism, Juli 1934)

Periode sekarang ini adalah sebuah periode yang dipenuhi peperangan-peperangan, revolusi dan kontra-revolusi (“kecil”), yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun atau berdekade-dekade sebelum babak yang terakhir dapat ditempatkan dalam agenda. Tapi analisa umum ini sama sekali tidak menjawab sepenuhnya masalah yang ada. Ada suatu bahaya penafsiran yang berat-sebelah dan mekanis terhadap perspektif-perspektif, yang, bila tidak dikoreksi, dapat mengakibatkan kesalahan-kesalahan yang serius. Karakterisasi umum tidak dapat menjelaskan semua perubahan yang sangat banyak, perubahan-perubahan siklus ekonomi, pasang-turun dan pasang-naik perjuangan klas, beragam krisis dan perpecahan di dalam organisasi-organisasi massa.

Namun, kita harus mempertahankan pemahaman yang berimbang (a sense of proportion). Karena absennya faktor subyektif, kendati perimbangan kekuatan-kekuatan klas secara keseluruhan menguntungkan, sebuah gerakan yang cepat ke arah revolusi atau reaksi tidak akan terjadi di negara-negara kapitalis maju. Ini tidak berarti bahwa pemberontakan-pemberontakan revolusioner tidak ada di agenda, jauh dari situ. Karena ketidakstabilan yang ekstrim, yang merupakan watak dasar dari situasi sekarang ini, peristiwa-peristiwa revolusioner akan terjadi dari satu negara ke negara yang lain. Akan tetapi, karena ketiadaan kepemimpinan revolusioner, ini juga akan disertai kekalahan dan kemunduran. Situasi yang tidak stabil ini dapat berlangsung, dengan pasang naik dan turun, bukan dalam hitungan bulan tetapi tahun.

Ini bukan pertanyaan yang sederhana, tapi sebuah proses yang kompleks, dialektis. Transisi dari periode yang satu ke periode lain yang sangat berbeda akan menghasilkan perubahan-perubahan yang penuh goncangan dalam hubungan-hubungan antara klas-klas dan antara negara-negara. Tekanan-tekanan ini secara tak terelakkan terpikulkan pada organisasi dan anggota-anggota kita sendiri. Trotsky menulis dalam On the Policy of the KAPD, 24 Nopember 1920:

“Seluruh rangkaian serangan yang diikuti oleh kemunduran-kemunduran, seluruh rangkaian pemberontakan yang diikuti oleh kekalahan-kekalahan; peralihan-peralihan dari aktif-menyerang ke posisi-bertahan, dan seluruhnya: analisa-diri yang kritis, pemurnian-diri, perpecahan-perpecahan, evaluasi-evaluasi ulang tentang para pemimpin dan metode-metode, perpecahan-perpecahan baru, dan penyatuan-penyatuan baru. Di dalam pengujian perjuangan ini, dan di atas landasan pengalaman-pengalaman revolusioner yang tiada tara, sebuah Partai Komunis yang sejati sedang ditempa. Sebuah sikap yang menghina terhadap proses ini seakan proses ini merupakan sebuah pertengkaran di antara “para pemimpin” atau sebuah percekcokan keluarga di antara para oportunis, dsb. – sikap semacam itu adalah bukti akan wawasan yang sangat-sangat sempit dan buta.”

Proses yang Berkontradiksi

Marx menjelaskan bahwa kunci dari semua perkembangan sosial adalah perkembangan tenaga-tenaga produktif. Krisis masa kini memperlihatkan bahwa perkembangan tenaga-tenaga produktif dalam skala dunia telah bergerak melampaui batasan-batasan sempit kepemilikan-pribadi dan Negara-bangsa. Itu adalah alasan yang paling fundamental untuk krisis masa kini. Tapi kemerosotan ekonomi tertunda untuk suatu waktu yang panjang, dan telah terdapat suatu periode pertumbuhan ekonomi, kendati ini terjadi dengan mengorbankan klas-pekerja dan massa-rakyat, khususnya di negara-negara eks-kolonial.

Dalam sebuah pengertian historis yang luas, ini benar sekian waktu yang lalu. Sudah pada tahun 1938 Trotsky menulis: “Berbicara secara obyektif, kondisi-kondisi bagi revolusi Sosialis sedunia bukan hanya telah masak dan matang, tetapi telah matang hingga membusuk!” Situasi telah mengungkapkan kebankrutan kapitalisme dari sebuah titik-pandang historis. Tapi kita ditinggali sebuah paradoks. Bila ini benar, mengapa kekuatan-kekuatan Marxisme masih tetap merupakan suatu minoritas yang sangat kecil?

Dalam analisa terakhir, kelemahan dari tendensi Marxis sejati berakar dari situasi objektif yang berkembang setelah Perang Dunia Kedua, yang berbeda dengan perspektif yang dibentuk oleh Trotsky secara teoritis pada tahun 1938. Hasil dari Perang Dunia Kedua tidak dapat diprediksi oleh siapapun. Bukan hanya Trotsky, tetapi Hitler, Stalin, Churchill, dan Roosevelt semuanya salah perhitungan.

Kemenangan Uni Soviet di Peperangan ini mengakibatkan penguatan luar biasa dari Stalinisme untuk seluruh periode. Penumbangan kapitalisme di Eropa Timur dan kemudian di Tiongkok (walaupun dengan cara yang cacat dan Bonapartis) semakin memperdalam proses ini. Selama berdekade-dekade, jalan ke buruh Komunis tertutup. Hanya sekarang, dengan runtuhnya Stalinisme, situasi berubah, membuka peluang-peluang baru.

Kekalahan gelombang revolusioner di Eropa yang mulai bahkan sebelum berakhirnya Perang (Italia, Yunani) adalah premis politik untuk pemulihan kapitalisme. Berbeda dengan situasi setelah Perang Dunia Pertama, kaum imperialis Amerika Serikat dipaksa memberikan bantuan finansial ke Eropa dengan Rencana Marshall. Kehancuran akibat Perang menciptakan kondisi untuk boom rekonstruksi paska-Perang. Teknologi-teknologi yang dikembangkan selama Perang Dunia (kimia, plastik, tenaga nuklir, dsb.) menyediakan lapangan-lapangan investasi baru.

Ini dan faktor-faktor lainnya menjadi basis untuk sebuah kenaikan ekonomi yang besar dalam kapitalisme, yang pada gilirannya menjadi basis penguatan ilusi-ilusi reformis di antara kelas pekerja di negara-negara kapitalism maju. Sebagai akibatnya, jalan ke buruh-buruh reformis juga tertutup untuk seluruh periode. Ini tidak dimengerti oleh para pemimpin Internasionale Keempat yang memiliki pemahaman mekanikal akan perspektif Trotsky dan sebagai akibatnya mereka membuat kesalahan-kesalahan serius yang menghancurkan Internasionale Keempat.

Pada waktu mundur di dalam sebuah peperangan, keberadaan jendral-jendral yang bertalenta bahkan menjadi lebih penting daripada pada saat menyerang. Dengan jendral-jendral yang baik, kita bisa mundur dengan teratur, menjaga utuh pasukan kita. Tetapi jendral-jendral yang buruk akan mengubah sebuah penarikan mundur menjadi sebuah kekacauan. Kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan dari yang disebut-sebut pemimpin Internasionale Keempat berarti bahwa organisasi yang diciptakan oleh Trotsky sepenuhnya hancur.

Akan tetapi, alasan utama mengapa Marxism revolusioner (Bolshevisme atau “Trotskisme”) terlempar ke belakang dapat ditemukan di dalam kondisi-kondisi objektif di negara-negara kapitalis maju Eropa dan Amerika Serikat (situasi di negara-negara koloni atau eks-koloni benar-benar berbeda).

Kita harus menghadapi fakta-fakta ini: untuk seluruh periode historis kekuatan Marxisme sejati terlempar ke belakang. Akan membutuhkan waktu, kerja yang sabar, dan terutama peristiwa-peristiwa besar yang akan menggoncang kelas proletar dan organisasi-organisasinya, untuk mengubah situasi ini. Sekedar mengulang-ulang dalil-dalil umum dan rumusan-rumusan yang abstrak adalah sama sekali tidak memadai untuk menjelaskan realitas konkret dari tahapan yang sedang kita lalui.

Kebanyakan orang ingin balik-kembali ke “hari-hari yang indah di masa lalu”. Para pemimpin klas-pekerja, para pemimpin serikat-serikat buruh, para pemimpin Sosial Demokrasi, para eks Komunis, para pemimpin Bolivarian, dsb., semuanya menjunjung gagasan bahwa krisis ini merupakan sesuatu yang sementara. Mereka membayangkan ini dapat diselesaikan dengan membuat beberapa penyesuaian dengan sistem yang ada. Dan ketika kita berbicara tentang faktor subyektif, tentang kepemimpinan, kita harus juga memahami bahwa bagi kita kepemimpinan dari organisasi-organisasi ini bukanlah suatu faktor subyektif. Ia telah menjadi suatu bagian penting dari situasi obyektif, yang untuk waktu yang cukup lama dapat mengekang proses yang sedang berlangsung.

Sekarang ini, para ekonom dan politisi borjuasi, dan di atas segalanya, semua kaum reformis, berusaha keras mencari sejenis pemulihan agar dapat keluar dari krisis ini. Mereka mengharapkan pemulihan siklus bisnis sebagai keselamatan. Secara terus-menerus mereka berbicara tentang “tunas muda” (green shoot) pemulihan ekonomi. Para reformis membayangkan bahwa yang diperlukan hanyalah kontrol dan regulasi yang lebih besar, dan bahwa kita dapat kembali ke kondisi-kondisi yang sebelumnya. Ini keliru. Krisis ini bukan sebuah krisis yang normal, ia tidak sementara. Ia menandai sebuah titik-balik yang fundamental dalam sebuah proses. Tapi, ini tidak berarti bahwa sebuah pemulihan siklus bisnis tidak dapat terjadi. Sesungguhnya, semua data terakhir mengindikasikan bahwa sejenis pemulihan telah mulai terjadi.

Jawaban yang paling fundamental terhadap pertanyaan ini harus ditemukan di dalam kontradiksi yang dialektis antara situasi obyektif dan pemahaman massa-rakyat akan situasi obyektif tersebut. Kesadaran manusia pada dasarnya konservatif. Massa-rakyat kuat berpaut pada bentuk-bentuk dan ide-ide tentang masyarakat yang ada sekarang sampai mereka merasa terpaksa untuk meninggalkan ide-ide ini atas dasar hantaman palu-godam kejadian-kejadian yang mahadahsyat. Tapi cepat atau lambat, kesadaran akan bersesuaian dengan realitas melalui serangkaian ledakan-ledakan peristiwa. Ini adalah mekanisme dasar revolusi.

Di negara-negara kapitalis maju kesadaran kaum pekerja telah terbentuk oleh pengalaman setengah abad terakhir, dimana mereka belajar untuk melihat lapangan-kerja yang penuh, peningkatan taraf hidup, dan reforma-reforma sebagai satu kondisi yang normal. Karena itu adalah wajar bila mereka percaya bahwa krisis sekarang ini hanya merupakan suatu penyimpangan sementara, yang kemudian akan disusul dengan kondisi-kondisi yang “normal”. Tapi faktanya, lima puluh tahun yang terakhir bukanlah suatu kurun waktu yang normal, tetapi sebuah pengecualian historis. Memang perlu waktu bagi kaum pekerja untuk memahami hal ini, tetapi pada akhirnya mereka akan beroleh sebuah pelajaran yang keras dari sekolah kehidupan.

II. Perekonomian

Dua tahun yang terakhir telah menyaksikan krisis yang paling dalam sejak Perang Dunia Kedua. Sekarang kaum borjuasi dengan sia-sia sedang berupaya untuk memulihkan keseimbangan ekonomi (economic equilibrium), yang telah diporakporandakan oleh runtuhnya sebuah periode kemakmuran. Persoalan yang mereka hadapi adalah bahwa semua langkah yang telah mereka ambil untuk memulihkan keseimbangan ekonomi akan sepenuhnya menghancurkan keseimbangan sosial dan politik. Mereka berharap bahwa krisis ekonomi sudah teratasi.

Kontraksi produksi baru-baru ini adalah yang paling tajam dalam seratus tahun terakhir. Perekonomian AS adalah tenaga penggerak bagi periode kemakmuran. Sekarang tenaga penggerak ini macet. Pada Mei 2009, angka penggunaan kapasitas untuk industri di AS turun menjadi 68,3 persen, 12,6% di bawah rata-rata untuk 1972-2008. Utang nasional menumpuk, nilai-tukar merosot. Akibatnya, fondasi-fondasi perekonomian semakin rusak. Akan terjadi goncangan-goncangan yang baru, yang dapat mengakhiri pemulihan sebelum pemulihan itu terkonsolidasi.

Adalah jelas bahwa sejenis pemulihan dalam siklus bisnis telah mulai. Tapi pemulihan itu tidak seimbang dan lemah serta penuh kontradiksi. Adalah mustahil untuk memprediksikan secara detil proses tersebut. Untuk itu, kita memerlukan bukan perspektif yang ilmiah, tetapi sebuah bola kristal. Ilmu ekonomi tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi sebuah ilmu pasti. Tapi adalah mungkin untuk memahami proses-proses fundamental dan arah umum kemana kita bergerak. Dan adalah sama jelasnya bahwa sebuah pemulihan yang lemah dan tidak menciptakan lapangan pekerjaan yang berdasarkan pinjaman yang semakin besar dan pemotongan yang semakin buas tidak akan menyelesaikan persoalan apapun yang menghadang kapitalisme. Sebaliknya, ini akan mempersiapkan suatu krisis ekonomi yang baru dan lebih dalam, dan di atas segalanya, suatu krisis sosial dan politik yang lebih dalam.

Ketua US Federal Reserve Ben Bernanke dan kolega-koleganya telah mengutarakan beberapa “tanda yang bersifat sementara” dari berakhirnya resesi dalam pembelanjaan konsumen, pembangunan rumah, dan laporan-laporan lainnya. Setelah empat kuartal kontraksi yang susul-menyusul, Produk Domestik Bruto (PDB) AS tumbuh sebesar 3,5% dalam kuartal ketiga 2009, dan diperkirakan akan tumbuh 5,7% dalam kuartal keempat. Meski demikian, gambaran ekonomi tetap suram dan keprihatinan bahwa sebuah resesi “double dip” tetap bisa terjadi. Secara keseluruhan, perekonomian AS merosot 2,4 persen pada 2009, penurunan terbesar sejak 1946. Sebuah kemunduran dalam pertumbuhan diproyeksikan untuk kuartal pertama 2010, ketika 60% dari pertumbuhan akhir tahun lalu merupakan akibat dari perusahaan-perusahaan yang membangun kembali persediaan yang berkurang karena resesi, yang mempunyai sebuah efek positif yang tidak langsung terhadap perekonomian. Namun jenis pertumbuhan ini mempunyai keterbatasannya. Dengan pembelanjaan konsumen terproyeksi untuk tetap stagnan, pada akhirnya penumpukan persediaan akan berakhir.

Yang lebih penting dari perspektif kaum Marxis, adalah efek yang dimiliki oleh ketidakstabilan yang konstan ini terhadap kesadaran kaum pekerja. Perekonomian Amerika kehilangan pekerjaan setiap bulan selama 23 bulan berturut-turut, suatu kejatuhan yang lebih tajam daripada semasa Depresi Besar. Pada Oktober 2009 pekan-kerja rata-rata 33 jam, terendah dalam catatan, yang memberikan para majikan sangat banyak ruang untuk memperluas jam-jam pekerja yang ada, dan juga menggunakan kapasitas industri yang ada sebelum menambah para pekerja baru atau membangun pabrik-pabrik baru. Menurut Biro Statisik Buruh (Bureau of Labour Statistics) 11 ribu pekerjaan hilang pada November 2009, sesudah bulan-bulan kehilangan ratusan ribu pekerjaan. Ini merupakan jumlah keseluruhan bulanan yang paling kecil sejak resesi bermula pada akhir 2007, dan tingkat pengangguran secara keseluruhan turun sedikit dari 10,2% ke 10,0%. Bahwa hasil-hasil seperti itu disanjung sebagai sebuah keberhasilan merupakan sebuah komentar yang gelap tentang seriusnya situasi.

Pemerintah AS telah memompakan sejumlah uang yang sangat besar dan ini tercermin dalam pertumbuhan lapangan kerja dalam pendidikan, layanan kesehatan, dan pemerintah. Namun, pemangkasan besar-besaran dalam anggaran negara dan lokal sekarang mulai menarik mundur perekonomian. Bahkan sektor jasa, yang merupakan sekitar 2/3 perekonomian, telah menyusut, karena semakin sedikit orang yang mempunyai uang untuk dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak penting. Subsidi-subsidi bagi perusahaan-perusahaan otomobil besar telah menyebabkan sebuah ekspansi sedang dalam aktivitas manufaktur. Tapi statistik memperlihatkan bahwa aktivitas yang meningkat dalam manufaktur kebanyakan disebabkan oleh penambahan atas inventori-inventori yang sudah habis, dan tidak merepresentasikan sebuah solusi jangka panjang.

Tingkat pengangguran AS sekarang telah melampaui 10 persen untuk pertama kalinya sejak 1983, dan barangkali akan berada di atas tingkat tersebut untuk beberapa waktu. Di beberapa negara bagian, yang dikenal sebagai rust belt (daerah industri berat), misalnya, Ohio dan Michigan, secara substansial tingkat pengangguran lebih tinggi. Bila mereka yang bekerja paruh waktu atau tidak lagi mencari pekerjaan diikutsertakan, tingkat pengangguran yang riil akan mendekat 17,5%. Satu dari lima orang Amerika berusia kerja tidak bekerja. Bagi para imigran dan orang kulit hitam bahkan lebih buruk. 34,5 persen orang Afrika-Amerika muda tidak bekerja. Kaum muda juga terdampak. Misalnya, di Maryland, tingkat pengangguran bagi kaum pekerja di bawah 20 tahun kira-kira 50 persen pada Agustus 2009, sementara gambarannya bahkan lebih buruk di Washington DC dengan 55 persen dari mereka yang berada di bawah 20 tahun yang secara terminal tidak bekerja. Situasi petaka ini mempunyai implikasi-implikasi penting untuk masa depan.

Tahun 2009 berakhir dengan jumlah keseluruhan pekerjaan yang hilang sebesar 4,2 juta dan tingkat pengangguran 9,3%. Itu dibandingkan dengan tingkat 4,6 persen pada tahun 2007. Lebih dari 7,2 juta pekerjaan telah menguap sejak resesi bergulir pada Desember 2007, tiga kali lebih banyak daripada yang hilang semasa resesi 1980-82. Tingkat pengangguran resmi untuk Januari 2010 tetap pada 10 persen, dengan 85 ribu lebih pekerjaan hilang pada bulan Desember, jauh lebih besar daripada 8.000 yang diperkirakan oleh para analis. Ketika “tingkat underemployment” dipertimbangkan, yakni dengan memperhitungkan para pekerja yang bekerja paruh-waktu tapi menginginkan kerja penuh-waktu, juga mereka yang sudah menyerah untuk aktif mencari kerja, tingkat pengangguran bisa mencapai setinggi 17,3 persen.

Pada akhir 2009, orang-orang yang tidak mampu menemukan pekerjaan untuk enam bulan atau lebih lama meningkat sampai 5,6 juta, atau 35,6%, sebuah rekor baru. Bagi para pekerja, yang namanya “jobless recovery” (pemulihan tanpa penciptaan lapangan pekerjaan) bukan pemulihan sama sekali. Ada enam pekerja yang mencari pekerjaan untuk setiap satu pekerjaan yang tersedia. Karena perekonomian Amerika perlu menambah sekitar 125.000 pekerjaan setiap bulan hanya untuk mengimbangi pertumbuhan populasi, optimisme kaum borjuasi ini hanyalah sebuah harapan kosong.

Federal Reserve percaya bahwa pengangguran akan tetap tinggi sampai 2011, dan kebanyakan ekonom tidak berpikir bahwa tingkat pengangguran akan kembali ke tingkat “normal” (sekitar 5 persen) sampai tahun 2013. Lebih dari 5,2% dari semua pekerjaan telah dipangkas sejak resesi bergulir. Heidi Shierholz, seorang ekonom dari Economic Policy Institute di Washington, telah mengatakan bahwa AS menderita sebuah “jobs gap” (kekurangan pekerjaan) sebesar sekitar 10 juta. Untuk menutup kekurangan itu dan kembali pada level pra-resesi dalam dua tahun akan membutuhkan lebih dari 500.000 pekerjaan baru setiap bulan, suatu kecepatan penciptaan pekerjaan yang belum pernah terlihat sejak 1950-51.

Pengaruh dari situasi ini pada kesadaran kaum pekerja adalah hal yang paling menarik perhatian kita. Pemulihan macam apa itu ketika hampir 16 juta orang tidak dapat memperoleh pekerjaan? Bagaimana PDB bisa melonjak ketika ada jutaan lebih sedikit pekerjaan daripada dua tahun yang lalu? Jawabannya sederhana: para kapitalis sedang membuat lebih sedikit pekerja untuk bekerja lebih banyak dengan gaji yang lebih rendah. Menurut Departemen Buruh AS, produktivitas  – jumlah yang diproduksi per pekerja per jam – meningkat sampai 9,5% dalam kuartal ketiga, sesudah meningkat 6,9% dalam kuartal kedua. Upah dan keuntungan meningkat sampai 1,5 persen pada 2009, tampilan terlemah sejak tahun 1982. Daya beli yang kurang berarti lebih sedikit barang yang dapat dibeli; dalam sebuah perekonomian yang 70% bersandar pada pembelanjaan konsumen, ini berarti pelambatan ekonomi pada akhirnya tidak terelakkan.

Hutang publik membengkak tanpa kendali. Cepat atau lambat ini akan menyebabkan tingkat bunga dan inflasi yang lebih tinggi. Ini merupakan bahaya-bahaya yang mematikan bagi sebuah pemulihan yang berkelanjutan. Di bawah kondisi-kondisi ini, bahkan ketika resesi berakhir, perekonomian AS dan negara-negara kapitalis kunci lainnya akan tepat rapuh dan pengangguran akan tetap pada tingkat yang tinggi. Krisis ini sedang digunakan oleh para kapitalis untuk memaksa kaum pekerja di negara-negara kapitalis maju untuk menerima standar hidup yang lebih rendah. Ini merupakan resep jadi untuk ledakan perjuangan klas di tahun-tahun yang akan datang.

Selama hampir 200 tahun kapitalisme telah bergerak melalui sebuah siklus periodik kemakmuran dan kemerosotan (boom and bust). Tapi, situasi masa kini bukanlah sebuah manifestasi “yang normal” dari siklus boom-and-bust, tapi sebuah transisi antara seluruh periode-periode perkembangan kapitalis. Kita telah memasuki suatu periode yang di dalamnya seluruh kurva perkembangan kapitalis akan menurun. Ini, tentu saja, tidak berarti bahwa perkembangan tenaga-tenaga produktif akan tidak mungkin terjadi.

Lenin menjelaskan bahwa tidak ada situasi yang mustahil bagi kapitalisme. Tidak ada sebuah krisis “terakhir” dari sistem ini. Kaum borjuasi akan selalu menemukan jalan keluar bahkan dari krisis yang paling dalam, kecuali dan sampai sistem ini digulingkan oleh aksi yang sadar dari klas pekerja. Mereka tak ragu lagi akan keluar dari krisis ini. Tapi pertanyaannya: bagaimana mereka melakukannya dan siapa yang harus menanggung biayanya? Bahkan dalam periode-periode kemunduran ekonomi, bisa ada pemulihan-pemulihan yang temporer, seperti halnya seorang yang sekarat dapat bangun, dan bahkan membuat kesan bahwa ia sudah pulih sepenuhnya. Kebangkitan-kebangkitan seperti ini bahkan diikuti dengan kemunduran-kemunduran yang lebih serius, sampai kemanusiaan dan peradaban seperti yang kita ketahui jatuh ke dalam barbarisme, bila kaum proletar tidak berhasil membuka jalan keluar revolusioner.

Ini adalah sebuah momentum untuk berefleksi atas hal-hal yang fundamental dan menggarap garis perkembangan yang tepat. Adalah mutlak-perlu untuk memahami proses-proses fundamental pada semua tingkatan, bukan hanya yang insidental dan tren-tren yang episodik. Ini merupakan sebuah proses yang kompleks, dialektis, yang harus kita ikuti dengan seksama melalui seluruh tahapannya. Sebagaimana dijelaskan Trotsky dalam Kurva Perkembangan Kapitalis (1923): “Terlebih lagi, sebuah transisi dari satu epos seperti ini ke epos yang lain secara wajar akan menghasilkan ledakan-ledakan yang paling besar dalam hubungan-hubungan antara klas-klas dan negara-negara.” Inilah periode yang sedang kita masuki.

Ted Grant memprediksikan bahwa dalam satu kemerosotan ekonomi yang mendalam, kaum borjuasi akan menggunakan sumber-sumber daya raksasa yang telah diakumulasinya selama lebih dari 50 tahun untuk menghindari keruntuhan total. Inilah yang sekarang sedang mereka lakukan. Krisis masa kini, yang mengejutkan kaum borjuasi, telah memprovokasi sebuah gelombang kepanikan dalam pemerintahan-pemerintahan di seluruh dunia. Dalam rangka mencegah dampak-dampak yang paling buruk dari krisis ini, mereka terpaksa mengambil langkah-langkah yang sebelumnya tidak pernah ditempuh. Kaum borjuasi takut akan dampak-dampak sosial dan politik dari kemerosotan yang mendalam dan terpaksa menggunakan sebagian besar dari cadangan-persediaannya untuk mencegah keruntuhan total. Ia mampu melakukannya karena ia telah mengakumulasi “selapisan lemak” dalam beberapa dekade pertumbuhan ekonomi. Tapi sekarang ini sedang mencapai batasnya.

Selama puluhan tahun para ekonom borjuis berargumen bahwa pemerintah tidak boleh mengintervensi pasar, yang dianggap sebagai mekanisme yang-mengatur-dirinya-sendiri. Tapi ketika krisis menghantam, satu-satunya yang menjaga sistem kapitalis tetap berjalan adalah intervensi Negara. Stimulus fiskal dan moneter yang agresif di AS dan RRC, dan, sampai luas jangkau tertentu, di zona Eropa dan Jepang, telah sampai saat ini mencegah sebuah keruntuhan total seperti tahun 1929. Tapi langkah-langkah seperti itu tidak dapat menghasilkan pemulihan ekonomi yang berkelanjutan dan langkah-langkah yang mereka ambil akan menciptakan kontradiksi-kontradiksi baru yang bahkan akan lebih sulit untuk diatasi.

Sebuah “krisis kredit”?

Para ekonom borjuis tidak dapat menjelaskan resesi ini. Mereka mengatakan ini disebabkan oleh kredit-macet (credit crunch) dan penurunan permintaan yang disebabkannya. Tapi, Marx menunjukkan bahwa bukanlah kelangkaan uang (“likuiditas”) yang menjadi penyebab sebuah krisis, tapi krisis itu sendiri yang menyebabkan kelangkaan uang. Hal yang sama benar pula sehubungan dengan kredit. Marx menjelaskan bahwa kredit memampukan kaum kapitalis untuk secara temporer melampaui batas-batas sistem kapitalis. Tapi peningkatan kredit tidak menandai peningkatan yang berkelanjutan dalam produksi. Kredit dapat secara temporer meningkatkan permintaan dan konsumsi, tetapi hanya dengan memperburuk resesi ketika ia datang. Kita melihat ini persis dalam krisis masa kini, dimana krisis over-produksi telah luar biasa diperburuk oleh permintaan yang jatuh secara tajam di AS, sebagai akibat dari kontraksi kredit yang tajam.

Kaum borjuis telah menggunakan hutang dalam suatu skala yang belum pernah ada sebelumnya, membangun defisit yang sangat besar. Sekarang mereka semakin memperbesar ini dan meningkatkan pasokan uang melalui apa yang mereka namakan “pemudahan kuantitatif” (“quantitative easing”) [Bahasa teknis untuk mencetak uang – Ed.]. Secara teoritis ini tidak mantap dan secara praktis sangat berbahaya. Ini mengasumsikan bahwa problem-problem perekonomian adalah insolvensi dan kelangkaan kredit. Bila ini benar, maka kita bisa keluar dari krisis ini dengan menyediakan kredit murah dan dengan mencetak dan membelanjakan lebih banyak uang. Tapi ini tidak benar.

Selalu ada sebutir kebenaran dalam argumen-argumen para ekonom borjuis, kendati mereka berat-sebelah dan tidak dialektis. Mereka tidak mampu melihat semua sisi proses. Milton Friedman [Milton Friedman adalah ahli ekonomi ternama dari Amerika, pemenang hadiah Nobel] benar ketika ia berargumen bahwa defisit pendanaan Keynesian [Keynesian adalah satu mahzab ekonomi yang menganjurkan pembelanjaan negara yang besar atau deficit spending untuk memompa ekonomi – Ed.] akan menyebabkan sebuah ledakan inflasi. Tapi para Keynesian juga benar ketika mereka menunjukkan bahwa memangkas pembelanjaan negara dan menurunkan upah akan mempunyai dampak yang berlawanan: menurunkan permintaan dan memperbesar dan memperpanjang resesi. Tapi, solusi mereka bukan sebuah solusi: seseorang tidak dapat menyelesaikan krisis dengan memperbesar pembelanjaan negara dengan meminjam dan menciptakan utang yang besar untuk dibayar dengan bunga pada masa depan. Tidak mungkin juga untuk menciptakan uang tanpa pada akhirnya memperbesar inflasi. Ini telah dicoba pada 1970-an, ketika ini menyebabkan sebuah ledakan inflasi dan gejolak hebat perjuangan klas susul-menyusul dari satu negara ke negara yang lain. Jadi, kaum borjuasi terjebak di antara setan dan laut samudera raya.

Tidak ada yang secara fundamental baru dalam krisis masa kini, kecuali cakup-luas dan kedalamannya. Ini pada gilirannya hanya merupakan suatu pencerminan dari kontradiksi-kontradiksi yang terakumulasi dalam periode kemakmuran sebelumnya. Dalam suatu periode kemajuan, spekulasi dan penipuan bermekaran. Tetapi ketika gelembung ini meletus, penipuan-penipuan tersingkap dan keyakinan ambruk. Para borjuasi yang berpartisipasi sedemikian bersemangat dalam pesta karnaval pembuatan-uang, sekarang membusanai diri mereka dengan baju compang-camping, menaburkan abu di kepala mereka, dan memukuli dada mereka, dan menyatakan bahwa mereka telah menyimak pelajaran mereka dan tidak akan berbuat dosa lagi – sampai kegilaan pembuatan uang selanjutnya. Hanya satu tahun setelah fase krisis yang paling akut, para pejabat nomor wahid dari korporasi-korporasi yang mendapat dana bail-out paling besar memewahkan diri mereka sendiri dengan bonus-bonus dan keuntungan-keuntungan yang ekstravagan, yang memicu kemarahan dan kegaduhan publik.

 

Kaum borjuasi terpaksa mengimplementasikan sebuah kebijakan fiskal berskala-besar yang dirancang untuk mencegah krisis ekonomi ini jatuh ke dalam kemerosotan yang dalam. Sebagai akibatnya, defisit-defisit anggaran negara telah mencapai proporsi yang luar biasa besar dan perusahaan-perusahaan swasta dan bank-bank telah secara artifisial dijaga untuk tetap beroperasi; dalam rangka menghindari kejatuhan yang bahkan lebih luas. Semuanya ini untuk tujuan politik memulihkan kemakmuran komersial-industrial yang fiktif dari tahun-tahun boom ekonomi sebelumnya. Tapi ini mengabaikan satu detil kecil, bahwa inilah yang justru menyebabkan kejatuhan finansial pada awalnya.

Boom ekonomi disertai dengan orgi spekulasi yang tidak ada pararelnya dalam cakupannya dan ukurannya. Para bankir yang “terhormat” berpartisipasi dengan antusias. Kapital fiktif yang sangat besar disuntikkan ke dalam sistem melalui apa yang disebut gelembung perumahan. Ini hanyalah satu contoh aktivitas spekulasi massif yang berdasarkan kapital fiktif. Bursa-bursa saham dunia melonjak tinggi ke level yang tidak pernah terdengar sebelumnya. Pasar derivatif dunia berjumlah sebesar US$ 700 trilyun sebelum ambruknya ekonomi, seperti yang ditunjukkan oleh angka-angka di bawah:

Pasar derivatif global OTC, akhir Juni 2009

(Dalam milyaran US dollar)

Juni 2007: 516.407

Des 2007: 595.738

Juni 2008: 683.814

Des 2008: 547.371

Juni 2009: 604.622

Angka-angka ini adalah dari Bank for International Settlements Quarterly Review (Desember 2009). Tapi, yang sangat luar biasa, sekarang mereka telah melonjak ke tingkatan yang serupa dengan tingkatan pada tahun-tahun boom ekonomi.

Ini memperlihatkan sisi lain dari “pemulihan”, yang hampir sepenuhnya berdasarkan pembiayaan negara yang masif, yang didasarkan pada pinjaman. Ini merupakan sebuah upaya yang putus-asa dari pihak borjuasi untuk keluar dari krisis dengan membesarkan kembali “gelembung”. Ini sama sekali tidak bertanggungjawab dari sudut pandang ilmu ekonomi ortodoks. Ini mempersiapkan jalan untuk inflasi dan meninggikan tingkat bunga, yang akan menyebabkan suatu kejatuhan yang bahkan lebih curam pada masa depan. Ini menyebabkan peringatan tanda bahaya di kalangan para ekonom borjuis yang belum kehilangan kepala mereka seluruhnya. Cepat atau lambat sistem ini akan menghadapi periode “penyesuaian” yang menyakitkan setelah kapital yang fiktif ini ditekan keluar daripadanya.

Semasa periode boom setiap orang ingin meminjamkan dan meminjam seolah-olah tidak ada hari esok. Kredit mudah diperoleh. Tapi segera sesudah siklus ekonomi mencapai ujungnya, kredit selalu mengering; setiap orang menjadi kikir dan menginginkan uang tunai, bukan janji pembayaran. Menggantikan pemborosan yang sembrono dan tak bertanggungjawab, suatu semangat kekikiran mendominasi. Alih-alih meminjamkan lebih banyak uang, para bankir menuntut pembayaran utang dengan segera. Ini mendorong perusahaan-perusahaan yang kecil atau menengah ke kebangkrutan dan berkontribusi pada keanjlokan. Jadi, kredit dan faktor-faktor lainnya yang mendorong perekonomian ke atas, berkombinasi untuk mendorongnya ke bawah. Secara dialektis, segala sesuatu beralih menjadi sebaliknya. Apa yang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk membangunnya, bisa membutuhkan beberapa hari saja untuk menjadi berantakan.

Untuk melindungi dari dampak keambrukan finansial, Federal Reserve memotong bunga peminjaman bahkan lebih jauh sampai mendekati nol persen dan mengucurkan uang kepada bank-bank untuk memacu pemberian pinjaman. Pemerintah AS meluncurkan US$ 787 milyar stimulus dalam bentuk pemangkasan pajak dan peningkatan pembelanjaan pemerintah untuk proyek-proyek pekerjaan umum yang besar guna membantu mendorong aktivitas ekonomi. Tapi sampai sekarang dampaknya pada penciptaan pekerjaan tidak berarti banyak. Hanya 650.000 pekerjaan telah diciptakan atau diselamatkan, kurang dari yang hilang dalam satu bulan di bulan Januari 2009.

Mengikuti Inggris dan AS, Uni Eropa juga meluncurkan rencana-rencana stabilisasi. Bahkan kaum borjuasi Swiss menyuntikkan modal dalam jumlah yang masif kepada bank-bank mereka, dan mengambil langkah-langkah darurat untuk mencegah jatuhnya kepercayaan kepada sistem perbankan negeri itu. Kaum borjuasi kelihatan telah berhasil dalam menunda suatu kemerosotan yang dalam untuk suatu kurun waktu tertentu, tapi hanya dengan mengacaukan lebih jauh sistem finansial dan melakukan “quantitative easing”, yang akan menyebabkan inflasi pada tahapan tertentu, dengan konsekuensi-konsekuensi yang besar bagi perekonomian dan suatu kejatuhan yang baru dan bahkan lebih tak terkendali di kemudian hari.

Bank-bank sentral telah menyuntikkan sejumlah likuiditas yang sangat besar kepada pasar-pasar uang dalam upaya untuk mempertahankan pinjaman-pinjaman bank-bank dunia satu dengan yang lain. Sistem perbankan sekarang telah hampir sama sekali bersandar pada pembiayaan publik, tapi kendati semua langkah ini, bank-bank sejauh ini tetap tidak bersedia menawarkan kredit kepada siapapun kecuali kepada usaha-usaha yang paling aman dan para pembeli rumah. Alasannya adalah bahwa mereka tahu bahwa krisis mungkin belum berakhir dan mereka tidak yakin bisa mendapatkan kembali uang mereka. Kendati tingkat bunga nominal mendekati nol, perusahaan-perusahaan dan rumah tangga-rumah tangga telah bereaksi dengan lamban karena untuk waktu yang cukup lama harga-harga telah jatuh, dan karena itu tingkat bunga riil tetap lebih tinggi.

Pemerintah AS telah memberikan subsidi yang sangat besar sejumlah US$ 11 trilyun: jaminan, investasi, pemulihan kapital dan provisi likuiditas. Tapi semua upaya pemerintah untuk menangkal kemerosotan hanya mempunyai dampak yang kecil, tanpa menyelesaikan apapun yang fundamental. Ini karena mereka tidak menangani penyebab krisis yang fundamental, yang bukan kelangkaan kredit tapi over-produksi. Semua program pemerintah untuk menstimulisasi permintaan tidak akan memadai untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan, yang merupakan sebuah persoalan sentral dari modus produksi kapitalis yang tak terencana dan anarkis.

Over-produksi

 

Marx dan Engels menjelaskan di dalam Manifesto Komunis (1848):

“Masyarakat borjuis modern dengan hubungan-hubungan produksinya, hubungan-hubungan pertukaran, dan hubungan-hubungan miliknya, suatu masyarakat yang telah menjelmakan alat-alat produksi serta alat-alat pertukaran yang begitu raksasa, adalah seperti tukang sihir yang tidak dapat mengontrol lagi tenaga-tenaga dari alam gaib yang telah dipanggil olehnya dengan mantra-mantranya. Sudah sejak berpuluh-puluh tahun sejarah industri dan perdagangan hanyalah sejarah pemberontakan tenaga-tenaga produktif modern melawan syarat-syarat produksi modern, melawan hubungan-hubungan milik yang merupakan syarat-syarat untuk hidup bagi borjuasi dan kekuasaannya. Cukuplah untuk menyebut krisis-krisis perdagangan yang dengan terulangnya secara periodik, setiap kali lebih berbahaya, mengancam kelangsungan hidup seluruh masyarakat borjuis. Di dalam krisis-krisis ini tidak saja sebagian besar dari baranghasil-baranghasil yang ada, tetapi juga dari tenaga-tenaga produktif yang telah diciptakan terdahulu, dihancurkan secara periodik. Di dalam krisis-krisis ini berjangkitlah wabah yang di dalam zaman-zaman terdahulu akan merupakan suatu kejanggalan - wabah produksi kelebihan. Tiba-tiba masyarakat mendapatkan dirinya terlempar kembali dalam suatu keadaan kebiadaban sementara; nampaknya seakan-akan suatu kelaparan, suatu perang pembinasaan umum telah memusnahkan persediaan segala bahan-bahan keperluan hidup; industri dan perdagangan seakan-akan dihancurkan; dan mengapa? Karena terlampau banyak peradaban, terlampau banyak bahan-bahan keperluan hidup, terlampau banyak industri, terlampau banyak perdagangan. Tenaga-tenaga produktif yang tersedia bagi masyarakat tidak lagi dapat melanjutkan perkembangan syarat-syarat milik borjuis; sebaliknya, mereka telah menjadi terlampau kuat bagi syarat-syarat ini, yang membelenggu mereka, dan segera setelah mereka mengatasi rintangan belenggu-belenggu ini, mereka mendatangkan kekacauan ke dalam seluruh masyarakat borjuis, membahayakan adanya milik borjuis. Syarat-syarat masyarakat borjuis adalah terlampau sempit untuk memuat kekayaan yang diciptakan olehnya. Dan bagaimanakah borjuasi mengatasi krisis-krisis ini? Pada satu pihak, dengan memaksakan penghancuran sejumlah besar tenaga-tenaga produktif, pada pihak lain, dengan merebut pasar-pasar baru dan menghisap pasar-pasar yang lama dengan cara yang lebih sempurna. Itu artinya, dengan membukakan jalan untuk krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi syarat-syarat yang dapat mencegah krisis-krisis itu.”

“Sebab fundamental dari krisis di dalam masyarakat kapitalis, sebuah fenomena unik yang hanya ada di masyarakat kapitalis, terletak pada keniscayaan over-produksi barang-barang konsumsi dan kapital untuk tujuan produksi kapitalis. Bisa ada segala macam penyebab-penyebab sekunder, terutama dalam periode perkembangan kapitalis – over-produksi parsial di beberapa sektor industri; spekulasi finansial di bursa saham; penipuan-penipuan yang menyebabkan inflasi; dan sebagainya – tetapi penyebab fundamentalnya adalah over-produksi. Overproduksi disebabkan karena ekonomi pasar, dan divisi masyarakat ke dalam kelas-kelas yang saling berlawanan.” (Ted Grant, Will There Be a Slump? 1960)

Ini yang ditulis oleh Ted Grant berpuluh-puluh tahun yang lalu di Will There be a Slump? Tulisan ini telah terbukti benar. Penyebab krisis yang sesungguhnya adalah overproduksi: ada suplai yang berlebihan secara global (rumah, mobil, dan barang-barang konsumsi). Akan membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan masalah suplai yang berlebihan ini. Adalah suplai berlebihan yang menghambat ekspansi industri, bukan kurangnya kredit. Ketika para politisi menggerutu bahwa setelah semua uang yang telah diterima oleh bank-bank mereka tidak meminjamkan uang, para bankir menjawab bahwa ketika mereka menawarkan untuk meminjamkan uang, tidak ada yang meminjam. Tentu saja! Sebuah boom fiktif yang berdasarkan pengeluaran negara akan segera menghadapi batas-batas permintaan. Sekarang karena kaum buruh sudah tidak bisa lagi meminjam uang dengan harga rumahnya yang tinggi, maka ruang untuk ekspansi permintaan artifisial semakin berkurang.

Tenaga pendorong dari suatu pemulihan yang riil adalah manufaktur dan konstruksi.  Tapi ini dicegah oleh overproduksi dalam sektor-sektor ini pula (yang juga dirujuk sebagai “oversupply” [kelebihan-penawaran] atau “overcapacity” [kelebihan kapasitas] oleh para ekonom borjuis modern). Di mana-mana, blok-blok perkantoran berdiri kosong dan konstruksi pembangunan berhenti. Dengan jatuhnya permintaan dalam skala dunia, para kapitalis terpaksa melakukan pemecatan masal, kerja paruh-waktu, dan penutupan-penutupan pabrik. Ini merupakan bukti nyata dari ketidaksanggupan kapitalisme untuk menyerap potensi produktif kolosal yang telah diciptakannya. Sebagai contoh, terjadi overproduksi baja sedunia. Terjadi “terlalu banyak baja”  (dalam batas-batas sistem kapitalis, tentunya). Ini, sampai suatu cakupan yang luas, terkait dengan kejatuhan yang tajam dalam produksi mobil.

Majalah Businessweek mengajukan sebuah pertanyaan yang menarik: bagaimana bisa ada overproduksi?

“Bagi para ekonom, kapasitas-berlebihan (overcapacity) adalah sebuah konsep yang kompleks. Keinginan manusia tidak terbatas, jadi bagaimana dunia bisa pernah memproduksi terlalu banyak sebuah barang yang baik? Kuncinya adalah apa yang dapat dibayar oleh orang. Dalam banyak sektor, harga masih tidak cukup rendah untuk memproduksi barang. Harus ada suatu kombinasi dari harga-harga yang jatuh dan kehancuran kapasitas produktif sebelum penawaran dan permintaan menjadi seimbang. […] Pertanyaannya adalah bagaimana keseimbangan itu akan dicapai.” (http://www.businessweek.com/magazine/content/09_07/b4119000357826.htm)

Pertanyaan ini langsung menusuk ke jantung persoalan. Kapitalisme adalah produksi tanpa perencanaan demi keuntungan, bukan produksi yang direncanakan secara rasional untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia. Tidak ada alasan mengapa suplai mobil, baja, makanan, atau apapun lainnya harus bersesuaian dengan apa yang disebut oleh para ekonom sebagai “permintaan efektif” (effective demand). Seluruh sejarah kapitalisme adalah sejarah krisis demi krisis yang disebabkan oleh kontradiksi antara kapasitas kapitalisme yang luar biasa untuk berproduksi demi keuntungan, dan kekuatan pembelian yang secara niscaya terbatas dari massa-rakyat (“permintaan”), yang menyebabkan krisis-krisis overproduksi secara periodik.

Pada zaman modern, overproduksi memanifestasikan dirinya sebagai over-kapasitas. Semasa krisis level-level penggunaan kapasitas jatuh di semua  negara-negara kapitalis maju, sebagai contoh:

 

Amerika Serikat

Data Produksi Industrial dan Penggunaan Kapasitas (Industrial Production and Capacity Utilization) dari Federal Reserve memberikan angka-angka sebagai berikut:

April 2009 (titik-rendah): 68,28%

Desember 2009: 72%

Desember 1982: 70,8%

 

Jepang

Indeks, 2000=100

Februari-08: 110

Februari-09: 62,61

Agustus-09: 81,75

yakni penggunaan kapasitas hampir menyusut separuh antara Februari 2008 dan Februari 2009. (Regional Economic Outlook: Asia and Pacific, IMF, Oktober 2009)

Sebuah studi dari "NLI research" memperkirakan penggunaan kapasitas Q1 2009 sebesar 50,4%.

Zona-Eropa

 

Tingkat penggunaan kapasitas di kawasan Eropa pada akhir Juli 2009 berkisar pada 69,5%, di bawah rata-rata jangka panjangnya, 81,6%. Yang terpukul terutama berat adalah para produsen barang-barang kapital (67,6%). Dalam industri otomotif, penggunaan kapasitas bahkan turun sampai di bawah 60%.

Angka-angka ini adalah dari Bank Sentral Eropa (European Central Bank).

(http://www.dowjones.de/site/2009/09/ezb-niedrige-kapazit%C3%A4tsauslastung-beeinflusst-inflation-kaum.html)

Turki

 

Jun-08: 82,3%

Jan-09: 63,8%

Jul-09: 72,3%

Des-09: 69,7%

Ini adalah statistik dari siaran pers Institut Statistik Turki (Turkish Statistical Institute) pada 12 Januari.

 

Kanada

Q3 2008: 78,9%

Q3 2009: 67,5%

Ini adalah angka-angka resmi menurut Statistics Canada

 

Thailand

Q4 2007: 73,12%

Q1 2009: 58,09%

Q4 2009: 67,20%

(Bank of Thailand)

Ini merupakan rekor titik terendah paska Perang Dunia Kedua. Tetapi di beberapa negara yang lebih miskin, situasinya bahkan lebih buruk, dengan penggunaan kapasitas 50% atau kurang.

Industri otomobil adalah sebuah contoh yang jelas. Pada tahun 2008 penggunaan kapasitas global dalam industri ini jatuh sampai 70,9% – 10% di bawah rata-ratanya dari tahun 1979 sampai 2008. Ini merupakan sebuah titik terendah yang historis, dan setara dengan level yang tercapai pada Desember 1982. Majalah Autos (31/12/08) menampilkan sebuah artikel dengan judul, “Masalah Kapasitas-Berlebihan Perusahaan Mobil,” dan subjudul, “Perusahaan Mobil harus memotong pabrik-pabrik tanpa kehilangan kemampuannya untuk meningkatkan produksi kembali ketika orang-orang mulai membeli mobil lagi.”  Ini mengekspresikan dilema para kapitalis dengan sangat jelas. Industri otomobil dunia mempunyai kapasitas untuk memproduksi 94 juta kendaraan setiap tahun. Berdasarkan penjualan sekarang, ini terlalu banyak sekitar 34 juta, setara dengan output 100 pabrik.

Over-kapasitas global dalam sektor otomobil sekitar 30% berarti bahwa para pembuat mobil besar dapat menutup sepertiga pabrik dan masih akan mengalami kesulitan untuk menjual mobil-mobil yang mereka produksi. Para pembuat otomobil mengharapkan penjualan bangkit kembali, yang dimulai pada tahun 2011. Tapi tidak seorang pun yang secara realistis berpikir mereka dapat menjual 34 juta kendaraan hingga saat itu. Di atas segalanya, para pembuat otomobil sedang bersandar pada pertumbuhan populasi dan suatu peningkatan dalam penjualan pada tahun 2013 ketika orang mulai mengganti kendaraan-kendaraan lama mereka. Bahkan kalau begitu pun masih akan ada “terlalu banyak” pabrik.

Karena alasan ini, General Motors telah menggarap sebuah rencana restrukturisasi yang masif yang mencakup pemotongan lebih dari 21 ribu pekerjaan di pabrik. Timken Co., pembuat bearing dan baja, telah mengindikasikan akan memotong sekitar 4 ribu lagi pekerjaan. Fenomena yang sama sedang terulang dalam satu atau lain bentuk ketika ratusan ribu pekerja “kapasitas berlebihan” (excess capacity) dikeluarkan dari pekerjaan mereka. Ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang bergaji tinggi, seringkali dengan perwakilan serikat buruh, sementara segelintir pekerjaan yang sedang diciptakan biasanya tidak berserikat buruh dan menawarkan tingkat upah yang murah dan sedikit, bila ada, tunjangan

Fakta bahwa ini merupakan suatu krisis overproduksi sekarang sudah merembesi bahkan kepala-kepala kaum borjuasi yang paling bebal yang selama bertahun-tahun menyangkali kemungkinan seperti itu. Sebuah artikel di surat kabar sayap kanan Konservatif, The Telegraph (15 Agustus, 2009), menyatakan ini dengan sangat jelas:

“Terlalu banyak pabrik baja telah dibangun, terlalu banyak pabrik yang membuat mobil, chip komputer atau panel matahari, terlalu banyak kapal laut, terlalu banyak rumah. Mereka telah melampaui daya beli orang-orang yang diperkirakan akan membeli produk-produk. Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahun 1920-an ketika elektrifikasi dan metode-metode assembly line Ford meningkatkan output lebih cepat dari upah. Ini merupakan suatu alasan utama mengapa Kemerosotan terbukti begitu sukar dikendalikan, kendati utang pada saat itu jauh lebih rendah daripada sekarang.”

Toyota, Honda dan Nissan telah mengurangi marjin keuntungan mereka. Mereka sedang memperlambat produksi, memotong kontrak para pekerja, dan menunda rencana-rencana untuk membuka pabrik-pabrik baru. Pada saat yang sama, mereka bermaksud meraih kembali porsi pasar mereka bilamana permintaan AS bangkit kembali. Persoalannya adalah bahwa mereka akan menghadapi kompetisi yang keras dari industri mobil AS, yang ada di dalam sebuah krisis yang mendalam. Di Amerika Utara industri mobil mempunyai kapasitas untuk membangun sekitar 7 juta kendaraan lebih banyak daripada yang dapat diserap pasar. Itulah sebabnya kaum borjuasi begitu bermuram-durja. Mereka tahu bahwa kecuali dan sampai overproduksi dieliminir, tidak mungkin ada pemulihan ekonomi yang serius dan berkelanjutan.

Over-kapasitas global mengakibatkan jatuhnya harga barang bagi para konsumen, tetapi meningkatkan persaingan dan menurunkan keuntungan bagi para kapitalis. Di sini kita tidak sedang berbicara tentang tingkat keuntungan yang jatuh, tetapi suatu kejatuhan dalam jumlah keuntungan, yang pasti mengakibatkan suatu pengurangan dalam produksi, meningkatnya pengangguran, kebangkrutan, dan penutupan pabrik. Dalam sebuah pasar global yang menciut, para produsen domestik harus bersaing dengan impor. Para pembuat mobil dan para produsen baja menghadapi sebuah “lingkaran setan” – sebuah spiral yang berpilin ke bawah dari penurunan output, harga, dan keuntungan. Jatuhnya produksi mobil berarti suatu kejatuhan dalam permintaan atas baja, listrik, minyak, dan banyak komponen lainnya yang terlibat dalam produksi mobil.

Menurut Michelle Hill dari perusahaan konsultasi Oliver Wyman, dalam rangka memulihkan keuntungan, para pembuat mobil AS akan harus menutup setidaknya selusin dari 53 pabrik di Amerika Utara dalam beberapa tahun ke depan. Jalan satu-satunya untuk menghapus over-kapasitas adalah dengan penghancuran sistematis atas tenaga-tenaga produktif: pabrik-pabrik ditutup seakan-akan mereka kotak korek-api, para pekerja dipecat, dan mesin-mesin dibiarkan berkarat sampai, pada akhirnya, pasar-pasar dan lahan-lahan investasi baru muncul.

Inilah yang dinamakan para ekonom borjuis sebagai “penghancuran yang kreatif” (creative destruction). Ia mirip dengan sosok mitologis Yunani Procrustes, yang memotong anggota badan tamu-tamunya untuk membuat mereka pas dengan tempat tidurnya. Kontradiksi yang utama adalah antara batas-batas Negara-bangsa dan pasar-dunia, yang telah sekian lama berkembang melampaui batas-batas sempit pasar-pasar nasional.

III. Ekspansi Perdagangan Dunia

Faktor utama yang memampukan kapitalisme untuk menghindari kemerosotan yang mendalam untuk sekian lama adalah peningkatan besar-besaran perdagangan dunia (“globalisasi”). Periode antara Perang-Perang Dunia dicirikan dengan suatu gelombang proteksionisme dan devaluasi-devaluasi kompetitif yang menekan perdagangan dunia dan mengintensifkan kemerosotan selama satu dekade. Berkenaan dengan alasan-alasan yang telah kita jelaskan di tempat lain (Lihat Ted Grant: Will there be a Slump?), periode yang menyusul tahun 1945 sama sekali berbeda. Pada waktu itu, AS memiliki duapertiga dari emas yang tersedia di dunia dan industri-industrinya utuh, sementara Eropa dan Jepang masih berjuang untuk bangkit setelah Perang.

Mata uang dolar AS adalah “sama baiknya dengan emas” dan menjadi mata uang dunia (dengan pound sterling di tempat kedua). Marshall Plan dan boom rekonstruksi pasca-Perang di Eropa membawa sebuah peningkatan ekonomi yang baru yang bertahan selama lebih dari dua dekade. Ekspansi yang tiada tara dari perdagangan dunia memampukan kaum borjuasi, secara parsial dan sementara, untuk menyelesaikan salah satu kontradiksi yang paling fundamental: keterbatasan Negara-bangsa. Akibatnya, sains dan teknologi tumbuh lebih cepat daripada dalam waktu manapun dalam sejarah. Kapitalisme memperlihatkan, barangkali untuk terakhir kalinya, apa yang dapat dicapai oleh sistem penghisapan ini. Atas dasar investasi-investasi raksasa, kaum borjuasi mencapai hasil-hasil yang bakal membuat terperangah Marx dan Engels.

Proses ini telah diperdalam dan diintensifkan dalam dua dekade terakhir. Kejatuhan Uni Soviet dan rezim-rezim Stalinis Eropa Timur, dan masuknya Tiongkok ke dalam pasar dunia, serta kebangkitan India sebagai kekuatan ekonomi regional, menandai partisipasi dari dua milyar manusia dalam perekonomian dunia kapitalis, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Fakta ini, pada dirinya sendiri, merepresentasikan suatu stimulus yang luar biasa dan sebuah intensifikasi yang lebih jauh dari pembagian-kerja dunia. Setiap negara sekarang bergantung pada pasar dunia dan itulah artinya “globalisasi”.

Tapi sekarang semua ini sedang mencapai batas-batasnya. Karena untuk pertama kali sejak 1982, perdagangan dunia telah jatuh dengan tajam – 14,4% pada 2009. Meski diharapkan untuk tumbuh lagi pada 2010, ini merupakan sebuah penyusutan yang serius, yang mengungkapkan sisi lain dari globalisasi. Integrasi dalam pasar dunia berarti bahwa semua yang dinamakan “perekonomian-perekonomian yang sedang bangkit” (emerging economies) sekarang tunduk pada fluktuasi-fluktuasi pasar dunia. Mereka semua telah terdampak oleh resesi dan jatuhnya permintaan, dimana konsumsi telah jatuh dan proteksionisme semakin besar. Globalisasi memanifestasikan dirinya sebagai sebuah krisis global kapitalisme. Fakta ini sekarang disadari oleh para s ahli strategi kapitalis yang lebih serius:

“Skala dan kecepatan kontraksi ekonomi global secara bersamaan benar-benar tidak ada preseden (setidaknya sejak Depresi Besar), dengan terjun-bebasnya PDB, pendapatan, konsumsi, produksi industrial, lapangan kerja, ekspor, impor, investasi perumahan, dan yang mengkhawatirkan, pembelanjaan kapital di seluruh dunia. Dan sekarang banyak pasar yang sedang muncul ada di tepi jurang sebuah krisis finansial penuh, dimulai dengan Eropa yang sedang muncul.” (Financial Times, 3/05/09)

Kalimat-kalimat ini mengekspresikan sebuah kontradiksi fundamental. Dalam sebuah kemerosotan, harga-harga, keuntungan, dan upah jatuh merosot. Dalam tiga bulan terakhir tahun 2008, harga-harga konsumen di AS jatuh pada tingkat tahunan yang menggemparkan, mendekati 13%. Harga-harga jatuh untuk semua jenis barang, dari sandang sampai perabotan, dan para retailer mengiklankan banyak diskon. Dengan kejatuhan permintaan-agregat (konsumsi, investasi perumahan, pembelanjaan kapital di sektor korporat, inventori-inventori bisnis dan ekspor), stimulus dari pembelanjaan pemerintah secara total tidak memadai untuk membangkitkan kembali perekonomian secara berkelanjutan. Bahkan dengan lebih dari $11 trilyun bailout dan  jaminan pemerintah (hampir semua, bila tidak semuanya, adalah hutang), sistem keuangan AS secara efektif menjadi pailit.

Para kapitalis terpaksa membuang komoditi mereka ke pasar yang sudah tersaturasi dengan diskon-diskon yang besar, bahkan menjual rugi. Mereka berusaha untuk melakukan hal yang sama di pasar-pasar dunia. Proteksionisme adalah suatu upaya untuk mengekspor pengangguran. Dalam sebuah periode boom ekonomi, kaum borjuasi dapat mencapai sebuah kesepakatan yang bersahabat untuk berbagi jarahan. Tapi dalam sebuah kemerosotan, slogannya adalah: “setiap orang untuk dirinya sendiri!” Mereka tidak peduli apa yang terjadi pada pihak-pihak yang lain. Ini berbahaya bagi kapitalisme karena justru proteksionisme dan devaluasi-devaluasi kompetitif yang mengubah Kejatuhan Bursa Saham 1929 menjadi Depresi Hebat.

Kecenderungan-kecenderungan proteksionis sudah muncul. Pemerintah-pemerintah Eropa Barat sedang memberi uang kepada para pembuat mobil hanya jika mereka setuju untuk tidak menutup pabrik-pabrik di dalam negeri. Perusahaan-perusahaan seperti Volkswagen dan Renault sedang merencanakan untuk menurunkan produksi di Spanyol, Portugal dan Italia dalam rangka menjaga agar pabrik-pabrik mereka tetap buka di Jerman dan Prancis. Para pembuat mobil AS sedang menurunkan operasi-operasi Eropa mereka dengan alasan yang sama.

Konflik yang paling serius adalah antara Tiongkok, AS, dan Eropa. Tiongkok mempunyai kepentingan dalam mempertahankan yuan terhadap dolar AS guna menaikkan ekspornya. Tiongkok mengijinkan yuan naik 21% terhadap dolar dalam tiga tahun sampai Juli 2008, tapi sejak saat itu Tiongkok telah kurang lebih mempertahankan nilai tukarnya. Sebagai akibatnya, nilai yuan telah tertarik mundur oleh dolar, sementara banyak mata-uang lainnya telah melonjak.

Kebijakan-kebijakan proteksionis, melalui devaluasi mata uang yang artifisial, telah memperbesar kekacauan di dalam pasar dunia. Pertama, dolar jatuh nilainya terhadap mata uang lainnya, yang secara otomatis menyebakan jatuhnya harga produk-produk Amerika dan peningkatan harga produk-produk negara lain. Dengan sebuah pasar yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan Amerika dan uang yang didepositokan di Amerika, Tiongkok tidak punya alternatif lain selain mematok mata uangnya pada dolar US (dan banyak ekonom AS yang mulai mengatakan bahwa ini adalah nilai Yuan yang sesungguhnya). Pada awalnya, nilai Euro meningkat, dan juga mata uang negara-negara seperti Brasil dan Korea Selatan. Krisis di Yunani sekali lagi menggoncang seluruh pasar ini dan Euro kehilangan nilainya dengan cepat, dan juga mata uang Brasil dan Korea Selatan, sementara Yuan tetap terpatok pada dolar! Ekspor Jerman mendapatkan kekuatan baru sebagai akibatnya, sementara ini meningkatkan kontradiksi di dalam Zona Euro. Ada satu hal yang konsisten dimana-mana: nilai emas telah naik dari sekitar $700 (awal 2008) hingga lebih dari $1000.

Guna mengelak tekanan sebelum pertemuan G20, Tiongkok mengumumkan beberapa kebijakan yang samar-samar untuk mengubah kebijakan nilai tukar mata uangnya.

Lebih dari 10 tahun sampai 2008 ekspor Tiongkok tumbuh dengan rata-rata tahunan 23% dalam nilai dolar, lebih dari dua kali kecepatan perdagangan dunia. Bila ini terus berlanjut, Tiongkok dapat mencakup sekitar seperempat dari ekspor dunia dalam 10 tahun. Itu akan lebih dari 18% ekspor dunia yang dicapai AS pada awal 1950-an (yang sejak itu merosot menjadi 8%). Sebuah laporan IMF yang diterbitkan pada 2009 memperhitungkan bahwa bila Tiongkok tetap bergantung pada ekspor seperti tahun-tahun terakhir, maka untuk mempertahankan pertumbuhan PDB tahunan 8% porsinya dalam ekspor dunia harus meningkat sampai sekitar 17% pada 2020.

Namun, prediksi semacam ini harus disimak dengan hati-hati. Prediksi serupa telah dibuat pada masa lalu tentang Jepang, yang pada puncaknya pada 1986 mencapai 10% – satu angka yang mirip dengan yang dicapai Tiongkok pada tahun ini. Tapi, selanjutnya, porsi ekspor Jepang jatuh sampai menjadi kurang dari 5%. Ekspor-ekspornya terpangkas oleh peningkatan yang tajam dalam yen, yang diapresiasi lebih dari 100% terhadap dollar antara 1985 dan 1988. Porsi pasar-ekspor kombinasi dari empat macan Asia (Hong Kong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan) juga mencapai 10% sebelum merosot.

Sangat mungkin ekspor Tiongkok akan tumbuh lebih lambat dalam dekade mendatang, karena permintaan dari negara-negara kaya tetap lemah. Tapi, porsi pasarnya barangkali akan terus meningkat. Proyeksi-proyeksi dalam World Economic Outlook-nya IMF menyiratkan bahwa ekspor Tiongkok akan mencapai 12% dari perdagangan dunia pada 2014. Tapi pada suatu titik tertentu, ini akan berbenturan dengan rintangan proteksionisme.

Para penulis laporan IMF yang disebutkan di atas menganalisa kapasitas-penyerapan global tiga industri ekspor – baja, pembuatan kapal, dan permesinan, dan menyimpulkan bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekspor yang dibutuhkan, Tiongkok harus mengurangi harga-harga, yang semakin sulit tercapai, entah dari produktivitas yang semakin meningkat atau reduksi laba. Dalam banyak industri ekspor, khususnya baja, marjin keuntungan sudah kecil.

Ekspor Tiongkok jatuh sekitar 17% pada 2009 secara keseluruhan, tapi ekspor-ekspor negara-negara lain jatuh lebih besar lagi. Akibatnya Tiongkok menggantikan Jerman sebagai eksportir terbesar dan porsi ekspor dunianya melonjak sampai hampir 10%, naik dari 3% pada 1999. Dalam sepuluh bulan pertama Amerika mengimpor 15% lebih kecil dari Tiongkok daripada dalam periode yang sama pada tahun 2008, tapi impornya dari negara-negara lainnya jatuh sampai 33%, yang meningkatkan porsi pasar Tiongkok sampai mencapai rekor 19%. Jadi meski defisit perdagangan Amerika dengan Tiongkok menyempit, Tiongkok sekarang mencakup separuh dari total defisit Amerika, naik dari kurang dari sepertiga pada tahun 2008. Ini telah memberikan daya-dorong yang segar bagi kecenderungan-kecenderungan proteksionis:

“Friksi-friksi  perdagangan dengan seluruh dunia sedang memanas. Pada 30 Desember Komisi Perdagangan Internasional Amerika menyetujui tarif impor baru terhadap pipa-pipa baja Tiongkok, yang disubsidi secara tidak adil. Ini merupakan tarif terbesar yang sejauh ini melibatkan Tiongkok. Pada 2 Desember pemerintah-pemerintah Uni Eropa mengambil suara untuk memperpanjang durasi tarif anti-dumping terhadap sepatu-sepatu yang diimpor dari Tiongkok selama 15 bulan.” (The Economist, 7 Januari 2010)

“Permusuhan dari negara-negara asing terhadap keunggulan ekspor Tiongkok sedang tumbuh. Paul Krugman, pemenang hadiah nobel dalam bidang ekonomi, menulis baru-baru ini dalam New York Times bahwa dengan mengekang mata-uangnya untuk mendukung ekspor, Tiongkok ‘menyedot permintaan yang sangat banyak dibutuhkan dari sebuah perekonomian dunia yang dilanda depresi’. Ia berargumen bahwa negara-negara yang menjadi korban merkantilisme Tiongkok barangkali tepat untuk mengambil tindakan proteksionis.” (ibid.)

Tiongkok menggarisbawahi bahwa impor mereka lebih kuat daripada ekspor mereka, meningkat 27% pada tahun 2009 sampai November, ketika ekspornya masih jatuh. Ekspor Amerika ke Tiongkok (pasar ekspor terbesar ketiganya) naik 13% pada tahun 2009 sampai Oktober, pada saat yang sama ekspornya ke Kanada dan Meksiko (dua negara di atas Tiongkok) jatuh sampai 14%. Di lain pihak, ekspor barang-barang Tiongkok telah jatuh dari 36% PDB pada tahun 2007 ke sekitar 24% pada tahun 2009 dan surplus perdagangan Tiongkok telah jatuh dari 11% ke perkiraan 6% PDB. Ini berarti Tiongkok membantu mendorong perekonomian dunia sepanjang tahun yang lalu. Tapi argumen-argumen ini tidak akan membungkam paduan suara proteksionis.

Konflik antara Tiongkok dan AS sedang menjadi semakin intens. Tuntutan-tuntutan luar negeri untuk merevaluasi yuan menjadi semakin keras dan lebih mendesak.

Sebuah perdebatan yang tajam telah berkembang di arena dunia mengenai kebijakan Tiongkok dalam mematok mata uangnya terhadap dolar. Kekuatan-kekuatan imperialis besar berhadapan satu sama lain dalam masalah ini. Kelas penguasa di AS pecah dalam isu ini.

Pemerintahan Obama dan ekonom-ekonom seperti pemenang Hadiah Nobel Paul Krugman mengadvokasikan sebuah jalan keluar melalui pengadopsian kebijakan-kebijakan proteksionis “Beli Produk Amerika” dan meningkatkan tekanan untuk revaluasi Yuan.

Paul Krugman berargumen bahwa kebijakan devaluasi mata uang Tiongkok dan surplus perdangangan yang meningkat memiliki “efek menekan” pada pertumubuhan ekonomi di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Dalam pendaatnya, bila mata uang Cina di-revaluasi, ini akan memberikan “impak yang besar” pada pemulihan global. Ini akan membuat ekspor Cina lebih kurang kompetitif dan, dalam argumennya, akan menciptakan lapangan kerja di AS.

Paul Krugman adalah juru bicara dari kaum borjuis nasionalis dan proteksionis, terutama perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang memproduksi barang-barang konsumen lunak (sepatu, garmen, kain, dsb.) yang masih ada di AS dan menderita langsung dari kompetisi dengan ekspor Cina.

Stephen Roach dan Jurnal Wall Street mewakilkan sayap kaum borjuis Amerika yang liberal dan pro-globalisasi. Seksi kelas penguasa ini khawatir, dan mereka benar, bahwa menekan China untuk merevaluasi Yuan akan dapat memulai perang dagang, penarikan simpanan Cina dari Surat Obligasi AS, dan ketergelinciran umum ke proteksionisme yang akan membawa ekonomi dunia kembali ke resesi. Ekonom-ekonom borjuis ini yang mendukung doktrin akumulasi kapital yang lebih “internasionalis”, yakni, mereka yang lebih berhubungan langsung dengan finans kapital internasional, ada di posisi yang lebih baik untuk menilik akibat dari ekonomi global dan bahkan kepentingan-kepentingan yang kompleks dari ekonomi imperialis AS di dunia.

Stephen Roach mengatakan dengan sangat jelas: “Pengkambinghitaman yang dilakukan oleh Washington terhadap Tiongkok dapat membawa dunia ke tepi lereng yang sangat licin ... konsekuensi dari kekeliruan macam ini – friksi perdagangan dan proteksionisme – dapat membuat krisis 2008-09 seperti mainan anak-anak.” (Financial Times, 29 Maret)

Dalam sebuah situasi internasional yang ditandai oleh sebuah krisis ekonomi yang besar, dua jiwa merasuki satu tubuh imperialisme borjuis yang sama. Tedensi proteksionisme, yang muncul sebagai sebuah solusi “mudah” di antara kaum borjuis, dihadapi oleh kembar siamnya, finans kapital internasional, yang memiliki kepentingan global.

Pada kenyataannya, mereka berdua benar dan mereka berdua salah. Kaum proteksionis ingin membuat negara-negara yang lain membayar untuk krissi ini (mereka inin mengekspor pengangguran ke Tiongkok). Para pedagang bebas memperingatkan bahwa ini dapat menjatuhkan ekonomi dunia. Tetapi pada saat yang sama, sebuah situasi dimana konsumen, perusahaan, dan pemerintahan AS berhutang besar tidak dapat dibiarkan berlanjut selamanya dan ini yang menyebabkan resesi.

Sementara menyanyikan puja-puji kepada perdagangan bebas, semua borjuasi di seluruh dunia sedang bersiap untuk proteksionisme. Kecenderungan-kecenderungan ini akan meningkat dalam periode berikutnya, karena setiap bangsa kapitalis berupaya untuk mengekspor pengangguran dan melempar persoalan-persoalannya kepada rival-rivalnya. Ini membuka sebuah skenario yang lebih mirip dengan skenario 1930-an daripada periode setelah 1945.

Tiongkok

 

Perkembangan tenaga produktif di Tiongkok dan Asia Tenggara telah menguatkan klas pekerja. Ilusi telah diciptakan bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok tidak terbatas. Tapi dengan berpartisipasi dalam pasar dunia kapitalis, Tiongkok sekarang rentan terhadap semua kontradiksi dari kapitalisme dunia. Perekonomian Tiongkok sangat bergantung pada perdagangan. Tiongkok mempunyai surplus perdagangan 12% dari PDB, dan menurut statistik resmi Tiongkok mengekspor sebesar hampir 40% dari PDB, kendati menurut beberapa perhitungan, sekali Anda menyingkirkan impor suku-cadang yang kemudian dirakit di Tiongkok dan diekspornya, angka yang sesungguhnya lebih dekat pada sekitar 10% of PDB.

Overproduksi dalam skala dunia mempengaruhi ekspor Tiongkok. Jutaan buruh telah dipecat dan banyak pabrik yang ditutup. Resesi ekonomi dunia telah menghancurkan cukup besar industri ekspor Tiongkok, terutama di industri ringan, pabrik perakitan, dll. Industri-industri ini kebanyakan ada di tangan sektor swasta. Di beberapa sektor industri berat, seperti baja, batu bara, dan yang lainnya, pemerintah telah memperkenalkan rencana-rencana untuk “merasionalisasi” produksi, memaksa “konsolidasi” ratusan perusahaan-perusahaan kecil menjadi beberapa perusahaan raksasa (kebanyakan adalah milik negara).

Seperti negara-negara yang lain, Tiongkok telah mengimplementasikan program stimulus, bersamaan dengan ekspansi kredit yang masif oleh bank-bank negara. Ini berarti adanya penyuntikan uang yang besar ke dalam ekonomi. Ini kebanyakan diarahkan ke investasi, yang bertanggungjawab untuk 90% pertumbuhan pada paruh pertama 2009. Kebanyakan investasi (hampir 50% PDB) didedikasikan untuk produksi lebih banyak kapasitas dan mesin-mesin untuk memproduksi lebih banyak barang untuk dieskspor. Sebagian besar investasi lainnya ditujukan ke konstruksi perumahan dan infrastruktur.

Alasan utama mengapa kepemimpinan Tiongkok melakukan ini adalah karena ketakutan mereka akan gejolak sosial yang akan mengancam posisi, kekuasaan, dan privilese mereka. Ada perpecahan di dalam Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan di dalam pemerintahan. Tetapi perpecahan ini bukanlah antara mereka yang ingin kembali ke ekonomi terencana dan mereka yang ingin melanjutkan konsolidasi kapitalisme. Perpecahan ini adalah antara mereka yang berpendapat bahwa jaringan jaminan sosial dan investasi negara dibutuhkan untuk mempertahankan stabilitas sosial, dan mereka yang berpendapat bahwa ekonomi Tiongkok harus terus “diliberalisasi” untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan maka dari itu kestabilan sosial.

Ini bukan berarti terdorong mundurnya kapitalisme di Tiongkok. Ini adalah usaha untuk menciptakan perusahaan-perusahaan Tiongkok yang mampu berkompetisi di pasar dunia, dan juga untuk mengendalikan over-kapasitas. Penghancuran perusahaan-perusahaan kecil dan konsentrasi kapital adalah proses normal dari perkembangan kapitalisme.

Ini telah mengakibatkan ledakan pertumbuhan yang terus-menerus, tetapi di bawah kondisi ekonomi pasar, yang hanya akan memperburuk masalah over-produksi (over-kapasitas). Komoditas-komoditas yang diproduksi harus terjual, dan pasar internal Tiongkok terlalu sempit untuk menyerap semuanya. Kebanyakan ekonom borjuis menganggap kebijakan ekonomi ini tidak baik dan tidak dapat bertahan untuk jangka menengah atau panjang. Bila investasi besar dan kapasitas yang meningkat ini tidak disertai dengan peningkatan ekspor atau konsumsi domestik, ini akan menyebabkan perusahaan-perusahaan tidak mampu membayar hutang mereka dan gelombang hutang non-performing, kebangkrutan, dan penutupan pabrik.

Nasib ekonomi Tiongkok, dan Asia secara umum, tergantung pada perspektif dari ekonomi dunia kapitalis secara keseluruhan. Financial Times menulis:

“Dengan kelebihan kapasitas yang masif di dalam sektor manufaktur industri dan ribuan perusahaan yang tutup, perusahaan swasta dan milik negara mana yang mau berinvestasi lebih banyak, bahkan bila bunga bank rendah dan kredit lebih murah. Memaksa perusahaan-perusahaan dan bank-bank milik negara untuk meminjamkan dan berinvestasi lebih banyak hanya akan meningkatkan jumlah hutang non-performing dan jumlah kapasitas berlebihan. Dan dengan kebanyakan aktivitas ekonomi dan stimulus fiskal berupa kapital – dan bukan labour-intensive, penciptaan lapangan pekerjaan akan terus terhambat.

“Jadi tanpa sebuah pemulihan di AS dan ekonomi global, tidak akan ada pertumbuhan yang berkelanjutan untuk Tiongkok. Dan dengan pemulihan AS yang mensyaratkan konsumsi yang lebih rendah, simpanan privat yang lebih tinggi, dan defisit perdagangan yang lebih rendah, maka negara-negara surplus seperti Tiongkok, Jepang, Jerman, dll harus bergantung lebih pada permintaan domestik. Tetapi pertumbuhan ekonomi berdasarkan konsumsi domestik adalah lemah di negara-negara surplus karena alasan-alasan struktural dan siklus. Jadi sebuah pemulihan ekonomi global tidak dapat terjadi tanpa sebuah perbaikan yang cepat dan tertib dalam ketidakseimbangan neraca perdagangan dunia.” (Financial Times, 3 Mei 2009)

Analisa ini dikonfirmasikan oleh pernyataan yang dibuat pada bulan Januari 2009 di World Economic Forum di Davos, Swiss, oleh Zhu Min, Wakil Presiden Eksekutif Bank of China Group, yang mengatakan kepada sebuah panel diskusi bahwa bahkan sebuah pertumbuhan cepat dalam konsumsi domestik di Tiongkok tidak akan bisa menyamai konsumsi AS yang melemah (Business Week). Dalam pasar dunia, Tiongkok jauh lebih penting sebagai produsen dibandingkan sebagai konsumen. Manufaktur mainan anak-anak di Tiongkok dihadapi dengan sebuah bencana karena order-order eskpor mengering dan pasar domestik tidak dapat menyerap apa yang diproduksi oleh pabrik-pabrik. Oleh karena itu, AS dan Eropa memberikan tekanan pada Tiongkok untuk mengurangi over-kapasitasnya dengan cara bergeser dari investasi ke konsumsi domestik.

Ekspansi kredit yang besar telah memungkinkan perusahaan-perusahaan untuk meminjam dengan murah guna berinvestasi di deposito yang memberikan bunga lebih tinggi. Dorongan likuiditas yang masif yang diimplementasikan oleh pemerintah tahun lalu telah menghasilkan bukan hanya pertumbuhan PDB tetapi juga peningkatan investasi-investasi spekulatif.

Harga rata-rata rumah baru-baru ini menyentuh 2200 dolar per meter persegi di Beijing, satu-pertiga pendapatan rata-rata pertahun di ibukota ini. Di Shanghai, harga-harga bahkan lebih tinggi, telah meningkat 60% pada tahun 2009. Banyak perusahaan milik negara, yang dibanjiri likuiditas, mengalihkan uangnya ke spekulasi bahan mentah, bursa saham, dan operasi derivatif yang kompleks. Sebagai akibatnya bursa saham Shanghai tumbuh lebih dari 60% pada tahun 2009.

Jadi kita melihat pengeluaran uang untuk spekulasi dan peningkatan berkelanjutan di dalam fenomena over-kapasitas yang telah mengakibatkan jatuhnya harga barang di beberapa sektor. Harga baja di Tiongkok sedang menurun, merefleksikan penurunan permintaan global. Perdagangan menurun di Asia dengan penurunan ekspor sebesar 40-50% di Jepang, Taiwan, dan Korea.

Di bawah ini adalah sebuah komentar menarik mengenai over-kapasitas di Tiongkok, yang ditulis oleh jurnalis ekonomi merujuk pada komentar-komentar yang dibuat kepadanya oleh Yu Yongdim [mantan anggota komite kebijakan moneter dari Bank Rakyat Tiongkok, mantan Direktur dari Akademi Institut Sains Ekonomi dan Politik Dunia Tiongkok, dan Presiden dari Asosiasi Ekonomi Dunia Tiongkok]:

“Dia percaya bahwa Tiongkok sekarang terperangkap di sebuah siklus dimana pertumbuhan investasi akan meningkatkan secara terus menerus suplai Tiongkok, tetapi konsumsi jelas telah gagal untuk tumbuh cepat untuk menyerapnya. Dan jadi Tiongkok terpaksa meningkatkan investasi untuk menyediakan cukup permintaan untuk menyerap suplai yang meningkat sebelumnya, dan oleh karena itu menciptakan sebuah siklus over-suplai yang semakin membesar.

“Dengan ini, porsi investasi dari produk domestik bruto telah meningkat dari seperempat PDB pada tahun 2001 ke setidaknya separuh. ‘Ada semacam kejar-kejaran – permintaan mengejar suplai dan lalu lebih banyak permintaan dibutuhkan untuk mengejar lebih banyak suplai.’ katanya. ‘Ini tentu saja adalah sebuah proses yang tidak dapat berkelanjutan.’

“Dari tahun 2005, over-kapasitas Tiongkok telah ‘terselubung’ oleh ekspor netto yang terus meningkat – tetapi strategi ini telah terinterupsi oleh krisis finansial. Lalu datang pesta investasi-stimulus di seluruh dunia yang tidak ada preseden, yang tidak akan mengkhawatirkan bila saja ini menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang. Tetapi campur tangan pemerintah dalam alokasi sumberdaya telah menjadi semakin besar semenjak krisis, tanpa reforma-reforma untuk membuat para pejabat lebih bertanggungjawab atas apa yang mereka keluarkan.

“ ‘Sebagai akibat dari perubahan-perubahan institusional di Tiongkok, pemerintahan-pemerintahan lokal mempunyai selera yang besar untuk proyek-proyek investasi yang megah dan alokasi sumberdaya yang sub-optimal,’ seperti yang dikatakan Yu sebelumnya, di ceramah Richard Snape untuk Komisi Produktivitas pada bulan Nopember.

“Jadi sekarang ada lapangan-lapangan terbang baru tanpa kota, jalan raya dan rel-kereta cepat yang berjalan secara paralel, dan kota-kota dimana para petani membangun rumah tanpa alasan selain untuk membongkarnya lagi karena mereka tahu ini akan memberikan mereka lebih banyak kompensasi ketika pemerintah lokal niscaya menyita tanah mereka (/http://www.smh.com.au/business/chinas-runaway-growth-train-on-a-dangerous-course-20100124-msll.html)

Tingkat pekerjaan Tiongkok hampir tidak tumbuh, karena investasi di pertumbuhan ekspor sangatlah kapital-intensif: pada tahun 2005, kapasitas berlebihan di industri baja Tiongkok adalah 120 juta ton – lebih dari produksi pertahun Jepang, produsen dunia terbesar kedua. Ini adalah situasinya pada saat boom. Selama kemerosotan, tingkat pengangguran Tiongkok naik dengan cepat. Tingkat pengangguran resmi, yang hanya menghitung buruh kota yang terdaftar, diperkirakan pada Nopember 2008 sebesar 8,8 juta, atau 4,3%. Tetapi angka sesungguhnya jauh lebih tinggi. Sebuah survei oleh Akademi Ilmu Sosial Tiongkok menaruh angka pengangguran kota sebesar 9,4%.

Walaupun pertumbuhan di kota-kota adalah cepat pada beberapa tahun belakangan ini, pertumbuhan di pedesaan telah tertinggal di belakang. Kaum tani terpaksa bermigrasi untuk mencari pekerjaan pabrik di kota. Menurut sebuah survei pemerintah baru-baru ini, lebih dari 15 persen dari 130 juta pekerja migran di Tiongkok telah kembali ke kampung halamannya baru-baru ini, dimana mereka sekarang menganggur. Lima sampai enam juta migran baru memasuki lapangan pekerjaan setiap tahun. 26 juta orang dipecat dari pekerjaannya di sektor manufaktur karena krisis ekonomi global dan terpaksa kembali ke kampung halamannya.

Ini berarti ada sekitar 25 sampai 26 juta buruh migran pedesaan yang sekarang sedang mencari pekerjaan. Di pedesaan, banyak keluarga miskin yang mengandalkan uang kiriman dari para migran yang bekerja di pabrik-pabrik atau di konstruksi. Situasi di Tiongkok semakin eksplosif. Banyak buruh pabrik telah turun ke jalan. Protes-protes pada bulan Juli dan Agustus 2009 menentang privatisasi dan PHK sangatlah signifikan.

Para buruh berjuang melawan dampak dari restrukturasi kapitalis dari perusahaan-perusahaan milik negara dan di satu kasus bahkan membunuh manejer yang dikirim ke pabrik oleh pemilik swasta yang baru. Ini menunjukkan suasana hati kemarahan yang sedang berkembang di bawah permukaan, dan dapat meledak kapan saja. Diskusi mengenai watak kelas di Tiongkok sangatlah penting. Tetapi kita harus mengikuyi secara seksama gerakan-gerakan buruh dan tani Tiongkok. Selama periode sebelumnya, kaum proletar Tiongkok telah menjadi sangat kuat, dan mereka belumlah menuturkan kata terakhir mereka.