Tiongkok: Sedang bergerak ke mana?

Setelah menyusul Jepang, tahun ini Tiongkok menjadi perekonomian terbesar kedua di dunia. Sejumlah ahli bahkan telah memprediksikan bahwa pada akhir dekade ini Tiongkok mungkin akan menjadi perekonomian terbesar yang melampaui Amerika Serikat. Namun, ini didasarkan pada pendekatan yang mekanis, empiris, dimana Tiongkok akan mempertahankan laju pertumbuhan ekonominya. Di masa lalu, Jepang juga diperkirakan akan terus tumbuh, tapi kemudian kemunculannya yang secepat meteor terhadang oleh suatu periode stagnasi yang panjang.

Bahkan bila perekonomian Tiongkok melampaui AS, standar hidup rakyat Tiongkok akan tetap berada di bawah Amerika dan Jepang. Kendati demikian, ekspansi perekonomiannya yang cepat telah membuat Tiongkok menjadi titik rujukan dan topik dalam diskusi-diskusi politik dan ekonomi di seluruh dunia.

Kaum kapitalis di dunia maju, pada satu sisi, luar biasa gembira atas restorasi kapitalis di Tiongkok, sementara pada saat yang sama mereka dibuat cemas oleh klas penguasa birokratik Tiongkok yang tidak mengizinkan mereka menjarah Tiongkok habis-habisan. Konflik-konflik mereka tidak berwatak ideologis, tapi disebabkan oleh persaingan di pasar, investasi, dan antagonisme perdagangan. Namun elit Tiongkok-lah yang menyediakan buruh yang murah dan terampil untuk usaha-usaha manufaktur yang menguntungkan bagi korporasi-korporasi multinasional yang memberikan kepada kapitalisme dunia kelegaan lebih dari satu kali dalam 15 tahun terakhir dan menghindari resesi-resesi yang mendalam sebelum tahun 2008. Konflik kebijakan, bila pun ada, adalah tentang metode Keynesian atau metode monetaris.

Dalam negeri-negeri yang lazim dinamakan negeri-negeri berkembang, telah ada banyak perbincangan tentang model Tiongkok. Para pemimpin politik dan serikat buruh telah menyanjung “keajaiban” Tiongkok sebagai jalan keluar satu-satunya dari krisis. Orang-orang eks-Kiri, yang telah lama menolak politik revolusioner, telah menggunakan Tiongkok sebagai alasan untuk pengkhianatan mereka dan pembenaran mereka akan kapitalisme. Namun dalam dekade yang lalu semua negeri neo-kolonial yang telah berupaya mengikuti contoh Tiongkok telah berakhir dalam petaka-petaka sosio-ekonomik.

Dalam sejumlah cara degenerasi kapitalis Tiongkok telah melayani imperialisme dan elit penguasa lokal untuk mencemarkan sosialisme dan komunisme dengan menabur kebingungan di pikiran kaum buruh dan kaum muda. Kenyataannya adalah bahwa dalam sejumlah cara pesta-pora kapitalis dari birokrasi Tiongkok telah memainkan suatu peran kontra-revolusioner yang lebih besar daripada padanan Rusia mereka, khususnya di dunia eks-kolonial. Proses ini melontarkan partai-partai Kiri untuk berkapitulasi atau menyerah kepada kapitalisme.

Revolusi Tiongkok 1949 bukanlah sebuah revolusi sosialis klasik menurut garis-garis Revolusi Bolshevik 1917 yang jaya, atau bahkan Revolusi Tiongkok 1925-27 yang dikalahkan dengan berdarah-darah karena kebijakan “dua tahapan” kolaborasionis klas. Rezim yang tampil ke puncak kekuasaan di bawah Mao melalui suatu perang tani terpaksa mengambil-alih pucuk-puck komando perekonomian dan menggulingkan kapitalisme dan sistem kekuasaan tuan tanah, kendati perspektif-perspektif Mao tentang perlunya sebuah periode perkembangan kapitalis yang panjang sebelum mereka dapat bergerak ke “tahapan kedua”. Kaum imperialis sudah kehabisan tenaga dan dilemahkan oleh perang dan gejolak-gejolak revolusioner di dalam angkatan-angkatan perang dan masyarakat-masyarakat mereka sendiri.

Namun, perekonomian terencana yang diluncurkan tidaklah menurut garis-garis Moskow 1917, melainkan Moskow 1945, yakni perekenomian terencana tanpa demokrasi dan kontrol oleh kaum buruh. Penghapusan ekonomi pasar di Tiongkok memungkinkan pertumbuhan besar. Tetapi pertumbuhan besar ini adalah bukan karena birokrasi. Faktanya ada sejumlah blunder yang dibuat oleh elit birokratik yang mengakibatkan bencana kelaparan dan malapetaka-malapetaka besar lainnya karena watak totaliternya. Akhirnya, pertumbuhan dan pembangunan ekonomik mulai mengalami stagnan pada dekade 1960-an dan 1970-an. Dan setelah kematian Mao faksinya tersingkir dari kekuasaan dan sayap yang lebih konservatif di bawah Deng Xiao-ping tampil ke tampuk kekuasaan.

Mereka menjalankan doktrin Bukharin tentang sebuah pembukaan terhadap kapitalisme yang terkontrol yang dianjurkannya dalam perdebatan tentang Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy, NEP) di Rusia pada dekade 1920-an. Pada waktu itu penafsiran Bukharin ditolak oleh Trotsky. Di Tiongkok, segera setelah kapitalisme korporasi mulai merasuki negeri itu, kapitalisme korporasi membawa serta dengannya kontradiksi-kontradiksi yang terus tumbuh, kenaikan inflasi, dan seterusnya, yang bermuara pada protes Lapangan Tiananmen, yang dihancurkan dengan brutal. Birokrasi merasa terancam dan mula-mula birokrasi memperketat kontrol negara dan meningkatkan represi. Namun, sekali telah menegakkan kembali “tatanan”, proses restorasi kapitalis menghimpunkan kecepatannya sekali lagi. Pada dekade 1990-an dan beberapa tahun pertama dari dekade 2000-an, birokrasi bergerak lebih jauh dari yang semua direncanakannya. Perekonomian Tiongkok berekspansi begitu besar dengan tingkat pertumbuhan yang cepat, tapi pertumbuhan kapitalis ini menolak kontrol-kontrol ekonomi. Dari 1999 sampai 2009 bagian negara dalam output ekonomi jatuh secara signifikan.

Sekarang tingkat pertumbuhan itu sedang menghantui elit Tiongkok. Segenap pola pertumbuhan di bawah kapitalisme telah menjadi satu pola pertumbuhan yang berwatak tidak merata dan berkombinasi. Tidak hanya Tiongkok mempunyai suatu jurang yang paling besar di antara si kaya dan si miskin, tapi kesenjangan-kesenjangan antara pedesaan dan perkotaan juga semakin buruk. PDB per orang di Shanghai adalah sekitar $18000, sementara di Yunnan kurang dari $1000. Ada 160 juta pengangguran kota, sementara 20 juta kembali ke desa-desa mereka setelah resesi tahun 2008. Pada 2010 hanya 17% dari kaum buruh migran di kota-kota terdaftar sebagai penerima pensiun, menurut angka-angka yang dikeluarkan negara.

Dalam kenyataannya, Partai Komunis Tiongkok bukanlah “Komunis”, bukan pula sebuah “partai”. PKT adalah elit yang memerintah dan menjarah massa-rakyat Tiongkok. Sumber-sumber para pemimpin adalah bos-bos kaya baru Tiongkok. Hu Haifeng, putera Presiden Hu Jintao, dan Wen Yunsong, putera perdana menteri Tiongkok Wen Jiabao, adalah di antara para pengelola keuangan terbesar dan taipan-taipan bisnis negeri itu. Sejak reshuffle-reshuffle Politbiro pada 2007, raja-raja kecil ini memiliki 7 dari 25 kursi.

Cepat berkembangnya krisis sosial karena kesenjangan ini, dan Revolusi-revolusi Arab, telah menghantui kepemimpinan. Secara masif mereka telah meningkatkan anggaran keamanan nasional. Anggaran keamanan tahun ini, untuk pertama kalinya, melebihi anggaran pertahanan nasional. Wen Jiabao mengumandangkan peringatan tentang perekonomian pada tahun 2007: “tidak stabil, tidak seimbang, tidak terkoordinasi, dan tidak berkelanjutan.” The Economist menunjukkan dalam Laporan Khusus (Special Report) tentang Tiongkok, “Negeri itu terlalu terbelah di antara si kaya dan si miskin untuk mengalami suatu shengshi (zaman kemakmuran)... Kepemimpinan baru-baru ini telah mulai berbicara tentang suatu target baru: meningkatkan ‘kebahagiaan’ umum ketimbang sekadar GDP. Dalam suatu tampilan semu yang sarat dengan risiko ekonomik dan politik di Tiongkok, itu akan menjadi sasaran yang paling sulit untuk dicapai.”

Secara paradoksikal, ekspansi dan pertumbuhan perekonomian ini, yang cepat dan tak merata, telah membuat Tiongkok menjadi negeri dengan proletariat terbesar di dunia. Napoleon pernah berkata, “Ketika Tiongkok bangkit, dunia akan bergetar.” Cekikan birokratik mengendor dengan kontradiksi-kontradiksi sosio-ekonomik yang kian menjadi. Ada gelombang pemogokan demi gelombang pemogokan yang tidak dilaporkan oleh media kapitalis. Tapi sekali proletariat Tiongkok yang perkasa sebagai klas memasuki arena sejarah badai revolusioner itu tidak akan dapat dihentikan.