Runtuhnya Tembok Berlin: 20 tahun kemudian

Dua puluh tahun yang lalu Tembok Berlin runtuh dan kaum borjuis di dunia Barat sangat gembira, bersukacita akan “jatuhnya komunisme”. Setiap tahun kaum kapitalis merayakannya seperti halnya rejim Orde Baru yang merayakan persitiwa 30 September dengan mesin propaganda mereka. Akan tetapi, dua puluh tahun kemudian situasi terlihat sangat berbeda dimana kapitalisme memasuki krisisnya yang paling parah semenjak 1929. Sekarang mayoritas rakyat di bekas Jerman Timur memilih partai kiri dan mengingat kembali keuntungan dari ekonomi terencana. Setelah menolak Stalinisme, mereka sekarang telah mencicipi kapitalisme, dan kesimpulan yang mereka ambil adalah bahwa sosialisme lebih baik daripada kapitalisme.

Tahun 2009 adalah sebuah tahun yang dipenuhi dengan banyak hari peringatan, termasuk hari peringatan pembunuhan Luxemburg dan Liebknecht, dibentuknya Komunis Internasional, dan Komune Austria. Tidak satupun dari peringatan-peringatan ini yang menemukan gaungnya di pers kapitalis. Tetapi ada satu hari peringatan yang tidak pernah mereka lupakan: pada tanggal 9 November 1989, perbatasan yang memisahkan Jerman Barat dan Timur dibuka.

Runtuhnya Tembok Berlin di dalam sejarah telah menjadi sebuah sinonim untuk runtuhnya “komunisme”. Dalam 20 tahun semenjak peristiwa besar ini, kita telah menyaksikan sebuah ofensif ideologi yang luar biasa besar untuk melawan ide-ide Marxisme dalam skala dunia. Peristiwa ini dijunjung tinggi sebagai bukti matinya Komunisme, Sosialisme, dan Marxisme. Tidak lama yang lalu, ini bahkan dianggap sebagai akhir sejarah. Tetapi semenjak itu roda sejarah telah berputar berkali-kali.

Argumen bahwa sistem kapitalisme adalah satu-satunya alternatif untuk kemanusiaan telah terbukti hampa. Kebenaran yang ada sangatlah berbeda. Pada 20 tahun peringatan runtuhnya Stalinisme, kapitalisme mengalami krisis yang paling dalam semenjak Depresi Hebat. Jutaan rakyat dihadapi dengan masa depan yang dipenuhi dengan pengangguran, kemiskinan, pemotongan anggaran sosial, dan penghematan.

Selama periode ini kampanye anti-komunis ditingkatkan. Alasannya tidaklah sulit untuk dipahami. Krisis kapitalisme yang mendunia ini telah menyebabkan rakyat secara umum mempertanyakan “ekonomi pasar”. Ada kebangkitan rasa ketertarikan pada Marxisme, yang mengkuatirkan kaum borjuis. Kampanye fitnah yang baru ini adalah sebuah refleksi ketakutan mereka.

Karikatur Sosialisme

Yang gagal di Rusia dan Eropa Timur bukanlah komunisme atau sosialisme seperti yang dimengerti oleh Marx dan Lenin, tetapi sebuah karikatur birokratisme dan totalitarianisme. Lenin menjelaskan bahwa gerakan menuju sosialisme membutuhkan kontrol demokratis terhadap industri, masyarakat, dan negara oleh kaum proletar. Sosialisme yang sejati tidaklah kompatibel dengan kekuasaan elit birokrasi yang memiliki hak-hak istimewa, yang niscaya akan ditemani dengan korupsi yang besar, nepotisme, manajemen yang penuh pemborosan, dan kembalinya kapitalisme.

Pada tahun 1980an, Uni Soviet memiliki lebih banyak ilmuwan daripada jumlah seluruh ilmuwan di AS, Jepang, Inggris, dan Jerman; akan tetapi USSR tetap tidak dapat mencapai hasil yang sama seperti di Barat. Dalam aspek-aspek penting seperti produktivitas dan standar hidup, Uni Soviet tertinggal di belakang negara-negara Barat. Sebab utamanya adalah beban yang teramat besar terhadap ekonomi Soviet yang disebabkan oleh kaum birokrasi – jutaan birokrat yang tamak dan korup yang menjalankan Uni Soviet tanpa kontrol dari kelas pekerja.

Kekuasaan birokrasi yang mencekik ini akhirnya menyebabkan penurunan tajam tingkat pertumbuhan USSR. Sebagai akibatnya, Uni Soviet tertinggal di belakang negara-negara Barat. Biaya untuk mempertahankan pengeluaran militer yang tinggi dan biaya untuk mempertahankan kekuasaannya di Eropa Timur semakin menekan ekonomi Soviet. Munculnya seorang pemimpin Soviet yang baru, Mikhail Gorbachev, pada tahun 1985 menandai sebuah perubahan yang besar.

Gorbachev mewakili sayap birokrasi Soviet yang ingin mengadakan reformasi dari atas guna mempertahankan rejim tersebut secara keseluruhan. Akan tetapi, situasi di Uni Soviet menjadi lebih parah di bawah Gorbachev. Ini niscaya menyebabkan sebuah krisis, yang segera mempengaruhi Eropa Timur, dimana krisis Stalinisme diperparah oleh masalah kebangsaan.

Gejolak di Eropa Timur

Pada tahun 1989, dari satu ibukota ke ibukota yang lain, sebuah gelombang pemberontakan menyebar, menjatuhkan satu persatu rejim-rejim Stalinis. Di Rumania, Ceausescu [Sekjen Partai Komunis Polandia dan Presiden Polandia sampai tahun 1989 – Ed.] ditumbangkan oleh sebuah revolusi dan dieksekusi oleh skuad penembak mati. Satu faktor kunci dalam kesuksesan pemberontakan popular ini adalah krisis di Rusia. Di masa lalu, Moskow mengirim Tentara Merah untuk meremukkan pemberontakan-pemberontakan di Jerman Timur (1953), Hungaria (1956), dan Cekoslovakia (1968). Tetapi Gorbachev paham bahwa pilihan ini sudah tidak mungkin lagi.

Pemogokan-pemogokan massa di Polandia pada paruh pertama 1980an adalah sebuah ekspresi awal dari kebuntuan rejim tersebut. Bila gerakan yang besar ini dipimpin oleh kaum Marxis sejati, ini dapat mempersiapkan sebuah dasar untuk revolusi politik, bukan hanya di Polandia tetapi di seluruh Eropa Timur. Tetapi dengan absennya kepemimpinan seperti itu, maka gerakan ini dibajak oleh elemen-elemen konter-revolusioner seperti Lech Walesa.

Awalnya, kaum Stalinis Polandia mencoba untuk menghentikan gerakan ini dengan represi, tetapi pada akhirnya Solidaritas [Serikat Buruh Independen Polandia – Ed.] mendapatkan status legal dan diijinkan untuk berpartisipasi di pemilu tanggal 4 Juni 1989. Yang terjadi selanjutnya adalah sebuah gempa politik. Kandidat-kandidat Solidaritas memenangi semua kursi yang mereka ikuti. Ini memiliki sebuah pengaruh yang besar pada negara-negara tetangga.

Di Hungaria, Janos Kadar – untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi – telah disingkirkan dari posisi Sekjen Partai Komunis pada tahun 1988, dan rejim ini telah mengadopsi sebuah “paket demokrasi”, termasuk pengadaan pemilu. Cekoslovakia segera terpengaruh dan pada tanggal 20 November 1989 jumlah demonstran yang berkumpul di Prague meningkat dari 200 ribu ke 500 ribu. Sebuah mogok umum 2-jam diluncurkan pada tanggal 27 November.

Peristiwa-peristiwa dramatis ini menandai sebuah titik-tolak besar di dalam sejarah. Selama hampir setengah abad setelah Perang Dunia Kedua kaum Stalinis telah memerintah Eropa Timur dengan tangan besi. Rejim-rejim di Eropa Timur adalah negara-negara satu-partai yang kejam, yang didukung oleh aparatus represi yang kuat, dengan tentara, polisi, agen polisi rahasia, dan mata-mata di setiap blok perumahan, sekolah, universitas, dan pabrik. Tampaknya hampir tidak mungkin pemberontakan popular bisa menang melawan kekuasaan sebuah negara totaliter dan polisi-polisi rahasianya. Tetapi pada momen yang menentukan rejim-rejim yang tampak tak terkalahkan ini ternyata hanyalah raksasa dengan kaki dari tanah liat.

Jerman Timur

Dari semua rejim di Eropa Timur, Republik Demokratik Jerman (GDR) adalah salah satu yang paling maju industri dan teknologinya. Standar hidup disana tinggi, walaupun tidak setinggi Jerman Barat. Tidak ada pengangguran, dan semua orang memiliki akses ke perumahan murah, kesehatan gratis, dan pendidikan yang berstandar tinggi.

Akan tetapi kekuasaan dari negara satu-partai yang totaliter, dengan polisi rahasianya (atau yang dikenal dengan nama Stasi) yang ada dimana-mana dan mata-matanya, korupsi para pejabat, dan kekayaan para elit, adalah sumber ketidakpuasan. Sebelum dibangunnya Tembok Berlin pada tahun 1961, sekitar 2.5 juta penduduk Jerman Timur beremigrasi ke Jerman Barat, banyak yang melalui perbatasan antara Berlin Timur dan Barat. Untuk menghentikan ini, rejim Jerman Timur membangun Tembok Berlin.

Tembok ini dan pembatas-pembatas lainnya sepanjang 1380 kilometer perbatasan yang memisahkan Berlin Barat dan Timur berhasil memangkas emigrasi tersebut. Tindakan ini mungkin membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di GDR. Tetapi ini menyebabkan penderitaan dan kesukaran bagi keluarga-keluarga yang terpisahkan dan ini adalah sebuah hadiah propaganda untuk negara kapitalis Barat, yang memberikan satu lagi contoh “tirani Komunis”.

Pada akhir 1980an situasi di GDR penuh dengan gejolak. Kaum Stalinis tua Erich Honecker [Sekjen Partai Komunis Jerman Timur] menentang dengan keras segala bentuk reformasi. Rejim dia bahkan melarang peredaran publikasi-publikasi “subversif” dari Uni Soviet. Pada tanggal 6 dan 7 Oktober, Gorbachev mengunjungi Jerman Timur dalam rangka ulang tahun Republik Demokratik Jerman yang ke 40, dan dia memberikan tekanan kepada kepemimpinan Jerman Timur untuk melakukan reformasi. Dia dikutip mengatakan: “Wer zu spät kommt, den bestraft das Leben” (Dia yang terlalu telat akan dihukum oleh hidup).

Sementara itu rakyat Jerman Timur sudah menjadi lebih memberontak secara terbuka. Gerakan-gerakan oposisi mulai berjamuran. Ini termasuk Neues Forum (Forum Baru), Demokratischer Aufbruch (Kebangkitan Demokrasi), dan Demokratie Jetzt (Demokrasi Sekarang). Gerakan oposisi terbesar terbentuk melalui sebuah pelayanan gereja Protestan di Leipzig di gereja Nikolaikirche, bahasa Jerman untuk gereja Santo Nicholas, dimana setiap Senin setelah pelayanan penduduk berkumpul di luar menuntut perubahan di Jerman Timur. Akan tetapi, gerakan-gerakan ini tidak punya arah dan naif secara politik.

Sebuah gelombang demonstrasi massa sekarang menyapu seluruh kota-kota Jerman Timur, terutama sangat kuat di Leipzig. Ratusan ribu rakyat bergabung di demo-demo ini. Rejim ini memasuki krisis yang menyebabkan tersingkirnya pemimpin Stalinis garis-keras, Erick Honecker, dan mundurnya seluruh kabinet. Di bawah tekanan gerakan massa, pemimpin partai yang baru, Egon Krenz, menyerukan pemilu yang demokratis. Tetapi reformasi-reformasi yang diusulkan oleh rejim ini terlalu kecil dan terlalu terlambat.

Para pemimpin “komunis” ini mempertimbangkan untuk menggunakan kekerasan tetapi merubah pikiran mereka (dengan sedikit desakan dari Gorbachev). Situasi sekarang berputar di luar kendali. Hari-hari selanjutnya hampir seperti anarki: toko-toko buka sepanjang hari, paspor GDR menjadi tiket gratis untuk transportasi publik. Dalam kalimat seorang pengamat: “secara umum tidak ada peraturan pada saat itu”. Kekuasaan ada di jalanan, tetapi tidak ada yang memungutnya.

Dihadapi dengan pemberontakan massa, negara Jerman Timur yang tampak kuat ini runtuh begitu saja. Pada tanggal 9 November 1989, setelah beberapa minggu gejolak massa, pemerintahan Jerman Timur mengumumkan bahwa seluruh penduduk GDR dapat mengunjungi Jerman Barat dan Berlin Barat. Ini adalah sinyal untuk sebuah ledakan massa yang baru. Secara spontan, kerumunan rakyat Jerman Timur memanjati Tembok Berlin untuk menemui rakyat Jerman Barat di seberang.

Konter Revolusi

Tembok Berlin adalah sebuah simbol dan titik utama dari semua yang dibenci di rejim Jerman Timur. Pembongkaran Tembok ini dimulai cukup spontan. Selama beberapa minggu kemudian, beberapa bagian dari Tembok ini mulai dihancurkan. Kemudian mesin-mesin industri digunakan untuk merobohkan seluruh tembok yang tersisa. Ada atmosfer perayaan, sebuah perasaan sukacita, yang tampak lebih seperti sebuah karnival daripada sebuah revolusi. Tetapi ini benar untuk semua tahap awal dari setiap revolusi yang megah, seperti halnya revolusi 1789.

Pada bulan November 1989, penduduk GDR dipenuhi dengan perasaan emosional – sebuah perasaan pembebasan, dipenuhi dengan perasaan sukacita secara umum. Seperti seluruh bangsa mengalami kemabukan, dan oleh karena itu rentan terhadap saran-saran dan impuls-impuls spontan. Menumbangkan rejim yang lama ini ternyata lebih mudah daripada yang diperkirakan oleh semua orang. Tetapi, setelah menumbangkan rejim ini, apa yang akan menggantikannya. Rakyat yang telah menumbangkan rejim lama ini mengetahui dengan pasti apa yang tidak mereka inginkan, tetapi mereka tidak mengetahui dengan jelas apa yang mereka inginkan, dan tidak ada seorangpun yang menawarkan sebuah jalan keluar.

Semua kondisi objektif untuk sebuah revolusi politik sekarang tersedia. Mayoritas populasi tidak menginginkan restorasi kapitalisme. Mereka menginginkan sosialisme, tetapi dengan hak-hak demokrasi, tanpa Stasi, tanpa birokrat-birokrat yang korup, dan tanpa sebuah negara satu-partai yang diktatorial. Bila sebuah kepemimpinan Marxis yang sejati ada pada saat itu, sebuah revolusi politik sudah pasti akan terjadi dan demokrasi buruh akan terbentuk.

Akan tetapi, jatuhnya Tembok Berlin tidak menghasilkan sebuah revolusi politik tetapi konter-revolusi dalam bentuk unifikasi dengan Jerman Barat. Tuntutan ini (unifikasi dengan Jerman Barat) bukanlah tuntutan utama pada awal demonstrasi. Tetapi tanpa adanya sebuah program yang jelas, tuntutan ini dikedepankan dan perlahan-lahan menempati peran utama.

Kebanyakan pemimpin oposisi tidak memiliki program, kebijakan, atau perspektif yang jelas, selain sebuah harapan untuk demokrasi dan hak sipil. Seperti halnya alam, politik membenci vakum. Keberadaan sebuah negara kapitalis yang kuat dan kaya di seberang oleh karena itu memainkan sebuah peran yang menentukan untuk mengisi vakum ini.

Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl adalah seorang wakil imperialisme yang agresif. Dia menggunakan penyuapan yang paling tidak tahu malu untuk membujuk rakyat Jerman Timur untuk setuju dengan unifikasi segera, dengan menawarkan menukarkan mata uang Ostmark dengan Deutschmark dengan nilai tukar satu-untuk-satu. Tetapi yang Kohl tidak katakan kepada rakyat Jerman Timur adalah bahwa unifikasi tidak berarti mereka akan menikmati standar hidup Jerman Barat.

Pada bulan Juli 1990, halangan terakhir untuk unifikasi Jerman tersingkirkan ketika Gorbachev setuju untuk menjatuhkan keberatan Uni Soviet terhadap unifikasi Jerman di bawah NATO, sebagai imbalannya adalah bantuan ekonomi yang cukup bear dari Jerman kepada Uni Soviet. Unifikasi Jerman secara formal selesai pada tanggal 3 Oktober 1990.

Rakyat Tertipu

Rakyat Jerman Timur telah tertipu. Mereka tidak diberitahu bahwa introduksi ekonomi pasar akan berarti pengangguran besar-besaran, penutupan pabrik, dan penghancuran hampir seluruh basis industri di GDR, atau peningkatan harga barang, dan demoralisasi kaum muda, atau bahwa mereka akan dianggap sebagai penduduk kelas-dua di negara mereka sendiri. Mereka tidak diberitahukan hal-hal tersebut tetapi mereka telah mengetahuinya dari pengalaman pahit.

Reunifikasi Jerman menyebabkan anjloknya PDB per kapita Jerman Timur, 15.6% pada tahun 1990 dan 22.7% pada tahun 1991, total sepertiga penurunan PDB. Jutaan lapangan pekerjaan hilang. Banyak pabrik-pabrik Jerman Timur yang dibeli oleh kompetitor Barat dan ditutup. Dari tahun 1992, Jerman Timur mengalamai 4 tahun pemulihan ekonomi, tetapi ini diikuti dengan stagnasi.

Sebelum Perang Dunia Kedua, PDB per kapita Jerman bagian timur sedikit lebih tinggi dari rata-rata Jerman, dan Jerman bagian timur pada saat itu lebih kaya dari negara-negara Eropa Timur lainnya. Tetapi 20 tahun setelah unifikasi, standar hidup Jerman Timur masih tertinggal di belakang Jerman Barat. Tingkat pengangguran 2 kali lipat lebih tinggi daripada Jerman Barat, dan upah jauh lebih rendah.

Di GDR tidak ada pengganguran. Tetapi dari tahun 1989-1992 lapangan kerja menurun 3.3 juta. PDB Jerman Timur tidak pernah meningkat lebih dari tingkat PDB tahun 1989, dan lapangan kerja hanya sekitar 60% dari level 1989. Sekarang, tingkat pengangguran di Jerman secara keseluruhan adalah sekitar 8%, tetapi di Jerman Timur sebesar 12.3%. Akan tetapi, perkiraan tidak-resmi memberikan figur setinggi 20%, dan di antara kaum muda 50%.

Perempuan, yang telah mendapatkan persamaan yang tinggi di GDR, seperti di negara-negara Eropa Timur lainnya, sekarang paling menderita. Data dari Panel Sosio-Ekonomi Jerman untuk pertengahan tahun 1990an menemukan bahwa 15 persen perempuan Jerman Timur dan 10 persen laki-laki menggangur.

Pada bulan Juli 1990, “kanselir persatuan”, Helmut Kohl, menjanjikan: “Dengan usaha bersama kita akan segera merubah [daerah Jerman Timur] Mecklenburg-Vorpommern dan Saxony-Anhalt, Brandenburg, Saxony dan Thuringia menjadi daerah yang sejahtera.” 15 tahun kemudian, sebuah laporan dari BBC mengakui bahwa “statistik sangatlah suram.” Walaupun kapital sebesar 1.25 trillion Euro telah diinjeksi, tingkat pengganguran di Jerman Timur masih 18.5% pada tahun 2005 (sebelum resesi sekarang ini) dan di banyak daerah tingkat pengangguran lebih dari 25%.

Halle di Saxony-Anhalt, yang dulunya adalah sebuah pusat industri kimia yang penting dengan lebih dari 315.000 orang, telah kehilangan hampir 1/5 penduduknya. Sebelum Tembok Berlin jatuh pada tahun 1989, “segitiga kimia” Leuna-Halle-Bitterfield menyediakan 100 ribu pekerjaan – sekarang hanya 10,000 yang tertinggal. Gera dulu memiliki industri tekstil dan pertahanan yang besar, dan beberapa pertambangan uranium. Mereka telah hilang, dan hal-hal yang serupa terjadi di banyak industri-industri milik negara sejak 1989.

PBD per kapita Jerman Timur meningkat dari 49% PDB barat pada tahun 1991 hingga 66% pada tahun 1995, dan semenjak itu tidak ada peningkatan lagi. Ekonomi tumbuh sekitar 5,5% per tahun, tetapi ini tidak menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Sebagai akibatnya banyak penduduk yang meninggalkan Jerman Timur. Semenjak unifikasi sekitar 1,4 juta orang telah pindah ke Barat, kebanyakan dari mereka masih muda dan berpendidikan tinggi. Emigrasi dan penurunan tajam kesuburan telah menyebabkan jumlah populasi Timur menurun setiap tahun semenjak unifikasi.

Adalah sebuah ironi sejarah bahwa 20 tahun setelah unifikasi orang-orang meninggalkan Jerman Timur, bukan untuk lari dari Stasi, tetapi untuk lari dari tingkat pengganguran yang tinggi. Tentu saja beberapa orang hidupnya sangat baik. Laporan BBC mengatakan: “Rumah-rumah borjuasi yang megah, yang dulu dipenuhi lubang-lubang peluru dari Perang Dunia Kedua sampai tahun 1989, telah dikembalikan ke kemegahan mereka yang dulu.”

Marxisme Bangkit Kembali

Seperti banyak orang Jerman Timur lainnya, Ralf Wulff mengatakan bahwa dia gembira dengan jatuhnya Tembok Berlin dan gembira melihat kapitalisme menggantikan komunisme. Tetapi kesukacitaan ini tidak bertahan lama. “Hanya butuh beberapa minggu saja untuk melihat apa sesungguhnya ekonomi pasar bebas ini,” kata Wulff. “Ini adalah materialisme dan eksploitasi besar-besaran. Manusia kehilangan arah. Kita tidak memiliki kenyamanan materi tetapi komunisme memiliki banyak hal.” (Laporan Reuters)

Hans-Juergen Schneider, seorang insinyur berumur 49 telah menggangur semenjak Januari 2004. Dia telah mengirim 286 lamaran kerja semenjak itu, tanpa sukses. “Ekonomi pasar tidak dapat menyelesaikan masalah kami,” katanya, “bisnis besar hanya meraup untung tanpa mengambil tanggungjawab.” Dia tidak sendirian. Sebuah survey oleh Der Spiegel menyatakan bahwa 73% rakyat Jerman Timur percaya bahwa kritik Karl Marx terhadap kapitalisme masihlah valid.

Survey lainnya yang dipublikasikan pada bulan Oktober 2008 di majalah Super Illus menyatakan bahwa 52% orang di Jerman Timur menganggap ekonomi pasar “tidak berguna” dan “tidak dapat berfungsi”. 43% memilih sistem ekonomi sosialis, karena “sistem ini melindungi orang-orang kecil dari krisis finansial dan ketidakadilan lainnya”. 55% menolak bailout bank oleh negara.

Dari orang-orang muda (18 sampai 29 tahun), yang tidak pernah tinggal di GDR, atau hanya sebentar saja, 51% menginginkan sosialisme. Angka untuk orang berumur 30 sampai 49 tahun adalah 35%. Tetapi untuk mereka yang lebih dari 50 tahun adalah 46%. Penemuan ini dikonfirmasikan di wawancara-wawancara dengan puluhan rakyat Jerman Timur. “Kita membaca mengenai ‘horor kapitalisme’ di sekolah. Mereka benar. Karl Marx sungguh benar,” kata Thomas Pivitt, seorang pekerja IT berumur 46 dari Berlin Timur. Das Kapital laku terjual untuk penerbit Karl-Dietz-Verlag, terjual lebih dari 1.500 kopi pada tahun 2008, tiga kali lipat dari tahun 2007, dan 100 kali lipat semenjak 1990.

“Semua orang berpikir bahwa tidak akan ada lagi permintaan untuk Das Kapital,” kata direktur manajemen Joern Schuetrumpf kepada Reuters. “Bahkan para bankir dan manejer sekarang membaca Das Kapital untuk mencoba memahami apa yang terjadi. Marx sekarang popular,” katanya.

Krisis kapitalisme telah meyakinkan banyak rakyat Jerman, baik Timur maupun Barat, bahwa sistem ini telah gagal. “Saya dulu mengira komunisme adalah buruh, tetapi kapitalisme bahkan lebih parah,” kata Hermann Haibel, tukang besi berumur 76 yang sudah pensiun. “Pasar bebas sungguhlah brutal. Kaum kapitalis ingin memeras keuntungan lebih, lebih, dan lebih,” katanya. “Saya memiliki kehidupan yang baik sebelum Tembok runtuh,” dia menambahkan. “Tidak ada yang kawatir mengenai uang karena uang tidaklah penting. Kau memiliki pekerjaan bahkan jika kau tidak menginginkannya. Ide komunis tidaklah buruk.”

“Saya pikir kapitalisme bukanlah sistem yang tepat bagi kita,” kata Monika Weber, seorang pegawai kota berumur 46. “Distribusi kekayaan tidaklah adil. Kita melihat itu sekarang. Orang kecil seperti saya harus membayar mahal untuk kekacauan finansial ini dengan pajak yang lebih tinggi karena para bankir yang tamak.”

Yang lebih penting dari survey-survey ini adalah hasil pemilu Jerman baru-baru ini. Partai Kiri meraih kemajuan yang penting, mendapatkan hampir 30% suara di Timur. Di Timur sekarang tidak ada mayoritas untuk partai-partai borjuis. Apa yang jelas ditunjukkan disini adalah bahwa rakyat Jerman Timur tidak menginginkan kapitalisme, tetapi menginginkan sosialisme – bukan karikatur birokratik totaliter dari sosialisme yang mereka miliki sebelumnya, tetapi sebuah sosialisme demokratis yang sejati – sosialismenya Marx, Engels, Liebknecht, dan Luxemburg.

London, 19 Oktober, 2009

Diterjemahkan oleh Ted Sprague dari “The fall of the Berlin Wall: 20 years later”, Alan Woods.